Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15070

Angin perubahan bertiup di Bougainville

$
0
0
John Momis melambaikan tangan ke arah kamera sesaat sebelum memilih dalam Referendum Bougainville di Buka pada 23 November 2019. – Lowy Institute/ Ness Kerton/AFP/Getty Images

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Annmaree O’Keeffe

Presiden Bougainville, John Momis, telah lama menjadi tokoh yang penting dalam politik lokal. Menjabat sebagai presiden selama dua periode berturut-turut sejak 2010, ia adalah penggerak utama gerakan separasi awal di kepulauan itu pada 1970-an, ketika ia masih menjadi pastor Katolik. Ia kemudian menjadi fasilitator penting selama proses perdamaian yang berlarut-larut pada 1990-an, dan kemudian menjadi gubernur dari 1999 hingga 2005.

Ia juga telah merupakan tokoh yang berpengaruh dalam politik Papua Nugini. Ia memimpin komite yang memformulasikan Konstitusi PNG menjelang kemerdekaan pada 1975, dan sempat mewakili PNG sebagai duta besar untuk Tiongkok dari 2007 hingga 2010.

Singkatnya, Momis adalah pemimpin politik berpengalaman yang disegani di PNG, dan di daerah otonomi Bougainville.

Jadi mendengar berita bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Bougainville pekan lalu menolak mosi untuk memperpanjang batas maksimum masa jabatan presiden, dari dua menjadi tiga, menimbulkan pertanyaan – apakah ini angin perubahan telah bertiup melalui kota Buka?

Apa pun maknanya, kekalahan itu berarti Momis tidak akan menjadi presiden lagi setelah orang-orang Bougainville memilih dalam pemilu tidak lama lagi, untuk memilih pemerintahan otonomi Bougainville (ABG) yang baru. Mosi yang diajukan itu diperuntukan agar mempermudah batas masa jabatan kepresidenan, itu kalahkan tipis dengan suara 25-27, dimana kelompok dalam Parlemen yang menyebutkan diri mereka sebagai Block14 berupaya untuk memastikan mosi itu kalah.

Momis belum mengungkapkan apa pun di depan publik tentang kalahnya mosi ini, tetapi keputusan ini terjadi setelah keadaan yang intens di kepulauan ini selang beberapa bulan terakhir. Pada November tahun lalu, masyarakat Bougainville, dengan suara mayoritas, memilih untuk merdeka dalam referendum yang merupakan puncak dari Perjanjian Perdamaian Bougainville 2001 yang mengakhiri perang saudara berdarah yang berlangsung dari 1988 hingga 1997.

Namun, terlepas dari kehendak orang-orang Bougainville yang telah dinyatakan dengan sangat jelas melalui suara dalam referendum, penerapan terakhir tentang kemerdekaan Bougainville masih ada di tangan Parlemen PNG. Perjanjian Perdamaian Bougainville tidak memberikan panduan yang spesifik, tentang bagaimana fase pasca-referendum harus diatur dan hanya menyatakan bahwa “hasil referendum harus diratifikasi oleh Parlemen Nasional” – meskipun itu juga menetapkan bahwa Pemerintah Nasional dan ABG akan “melakukan konsultasi tentang hasil referendum.” Setelah hasil referendum rampung, Momis telah meminta pemerintah PNG untuk bersama-sama membentuk suatu komisi untuk mengawasi proses konsultasi.

Namun, pidato yang disampaikan oleh Perdana Menteri PNG, James Marape, dalam kunjungan ke Bougainville pada akhir Desember memicu kekhawatiran dari beberapa pihak dalam masyarakat Bougainville, bahwa kemerdekaan Bougainville mungkin akan tertunda dan dihalangi setelah PM Marape meminta kesabaran masyarakat, sementara kedua pemerintah bekerja untuk menyelesaikan proses tersebut. Panggilan agar masyarakat sabar kembali ditekankan oleh Marape minggu lalu, selama kunjungannya ke Selandia Baru, di mana ia mengisyaratkan bahwa bisa diperlukan sampai lima tahun bagi parlemen PNG untuk memutuskan masa depan Bougainville.

Momis pun mengingatkan orang-orang Bougainville dalam pidatonya di pembukaan parlemen Bougainville pekan lalu, bahwa mencapai kemerdekaan bukanlah tugas yang mudah, terutama dalam proses negosiasi dan konsultasi. Secara diplomasi politik, ini adalah pesan yang sulit untuk disampaikan kepada masyarakat yang telah berjuang mati-matian untuk merdeka.

Satu lagi masalah sulit lain yang dihadapi Momis dalam beberapa bulan terakhir adalah terkait dengan tambang emas dan tembaga Panguna, yang pada 1970-an adalah salah satu tambang terbesar di dunia, mendominasi hampir setengah dari ekspor PNG saat itu. Perselisihan terkait persoalan lingkungan hidup akibat tambang itu, pembayaran royalti dan hak atas tanah, adalah akar permasalahan yang memicu konflik berdarah dan mengakibatkan penutupan tambang pada 1989. HIngga saat ini, tambang tembaga Panguna itu masih ditutup. Momis telah bersitegang dengan perusahaan pertambangan Australia, RTG Mining Inc, yang berambisi untuk membuka kembali tambang itu.

Menurut situs web RTG, perusahaan ini bekerja sama dengan asosiasi pemilik tanah Special Mining Lease Osikaiyang Land Owners Association (SMLOLA). Situs web yang sama juga berkata bahwa SMLOLA adalah pemilik tanah yang memiliki hak atas sumber daya mineral di tambang Panguna saat ini, di bawah Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral Bougainville. RTG menekankan bahwa mereka adalah perusahaan pengembang yang dipilih oleh para pemilik tanah.

Pada Januari, Momis menuduh RTG berbohong kepada Bursa Efek Australia (Australian Securities Exchange; ASX) mengenai rencananya untuk membuka kembali tambang Panguna. Dia mengakui bahwa RTG adalah mitra usaha bersama atau joint venture dengan SMLOLA, tetapi ia menambahkan bahwa semua kelompok-kelompok pemilik tanah yang terpengaruh tambang, termasuk SMLOLA, itu ilegal dan tidak berlaku. Akibatnya, SMLOLA tidak memiliki hak atas Panguna. Momis lalu menegaskan bahwa pemerintahnya tidak akan berhenti, sampai semua RTG dan pejabat eksekutifnya diboikot seumur hidup dari Bougainville dan PNG.

Larangan yang diberlakukan oleh Bougainville telah berlaku sejak Oktober 2018, namun RTG telah memberi tahu ASX bahwa pejabat eksekutifnya masih bisa datang ke PNG, karena pemerintah nasional memiliki wewenang, berdasarkan konstitusi, atas kontrol perbatasan di seluruh negara itu, termasuk Bougainville.

Apa yang masih belum pasti dari pertengkaran publik yang sedang terjadi antara Pemerintah ABG dan RTG, adalah bahwa perselisihan atas kepemilikan tanah dan hak pertambangan di Bougainville belum terselesaikan. Bagi Momis, yang akan genap berusia 82 tahun minggu depan, mungkin angin perubahan yang berhembus melalui Parlemen Bougainville minggu itu tiba tepat pada waktunya.

Namun dia mungkin tidak merasa lebih terhibur mengingat bahwa parlemen yang sama, yang menolak amendemen yang dapat menuntunnya menjadi Presiden Bougainville selama lima tahun lagi, dengan suara bulat mendukung mosi untuk melanjutkan batas waktu alokasi kursi Parlemen, untuk veteran pejuang Bougainville dari dua hingga tiga periode. (The Interpreter oleh Lowy Institute)

Annmaree O’Keeffe AM pernah menjabat sebagai Duta Besar Australia untuk Nepal dan sebagai Minister-Counsellor bidang Bantuan Pembangunan di Kedutaan Besar Australia di Papua Nugini.

 

Editor: Kristianto Galuwo

The post Angin perubahan bertiup di Bougainville appeared first on JUBI.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 15070

Trending Articles