Image may be NSFW.
Clik here to view.
Pedagang kios kelontongan sedang menunggu pembeli – Jubi/Ramah.
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Instansi pemerintah dan perusahaan swasta mewajibkan pegawainya bekerja dari rumah untuk mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19.
Namun tidak mudah bagi pekerja di sektor informal yang kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja dari rumah. Mereka tetap harus keluar rumah demi menyambung hidup.
Seperti yang dialami Dafa, pemilik kios kelontongan di depan Kantor Pos Jayapura. Ia mengaku sangat ingin bekerja dari rumah supaya terhindar dari virus corona. Namun kondisi pekerjaannya tidak memungkinkan melakukan itu.
“Jujur saja, saya juga sebenarnya takut kena virus, tapi kalau tidak jualan saya tidak dapat uang, masih banyak kebutuhan yang harus ditanggung,” ujar Dafa kepada Jubi dilapaknya, Kamis, 2 April 2020.
Dafa sempat tidak berjualan selama tiga hari sejak imbauan kerja dari rumah dikeluarkan pemerintah. Namun karena kekurangan uang untuk kebutuhan sehari-hari, ia terpaksa kembali berjualan di pinggir jalan.
Memutuskan tetap berdiam diri di rumah selama pendemi virus corona, lanjut Dafa, sangat sulit diterapkan karena sama saja memutus mata rantai kehidupannya.
“Kalau berjualan saya memakai masker, pakai sarung tangan, supaya terhindar dari virus corona,” ujarnya.
Selain itu jika akan makan ia mencucui tangan memakai sabun.
“Supaya keuangan tidak semakin menipis, keuangan rumah tangga dan modal usaha harus diatur dengan baik,” katanya.
Setiap hari Dafa datang ke lokasi berjualan dengan mobil ‘pick up’ yang sudah dimodifikasi dengan kotak kios berisi jualan berbagai kebutuhan sehari-hari seperti mie instan, kopi, dan rokok.
Namun ia tak lagi membuka kios sesuai jadwal normal. Biasanya ia berjualan dari pukul 12 siang hingga pukul 5 pagi Waktu Papua. Setelah virus corona merebak ia mengubah jadwal dari pukul 9 pagi hingga 6 sore.
“Sejak corona setiap hari paling banyak laku Rp200 ribu, padahal biasanya rata-rata bisa Rp1 juta per hari, entah sampai kapan wabah ini berlangsung, semoga pemerintah secepatnya menangani virus corona,” katanya.
Di lokasi yang sama, Hepi, penjual lalapan ayam hanya bisa menatap nanar jajaran kursi kosong di hadapannya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 12 siang.
Ia tersenyum ketika dihampiri Jubi. Hepi bergegas berdiri menyapa, kemudian menawarkan menu dagangan yang dijualnya sambil mempersilahkan duduk.
Hepi mengaku sangat ingin bekerja atau hanya berdiam di rumah. Bahkan hal itu sempat ia lakukan selama seminggu. Namun keuangannya mulai menipis sehingga memutuskan kembali berjualan.
“Saya sebenarnya jualan malam dari pukul 4 sore sampai 12 siang, satu hari bisa laku Rp2 juta, tapi sejak tiga hari ini paling banyak Rp200 ribu, hari ini sudah siang belum ada pembeli, sepi Mas,” ujar Hepi sampai menunjuk jejeran kursi kosong di depannya.
Penurunan drastis jumlah pembeli membuatnya frustrasi, sebab harus memberikan upah kepada dua karyawannya, sekaligus untuk kebutuhan sehari-hari.
“Ya, mau gimana lagi, mungkin ini sudah cobaan dari Tuhan, sabar saja, semoga ada hikmahnya,” ujarnya.
Ia mengaku pasrah saja dengan keadaan dan berharap pemerintah bisa menanggulangi virus corona.
“Harus hemat-hemat pengeluaran,” kata Hepi.
Penjual soto di Taman Mesran, Hasanah, juga akhirnya tetap berjualan. Ia mengaku sangat ingin tetap di rumah agar tidak terpapar virus corona. Tapi ia tetap berjualan karena satu-satunya sumber penghasilan keluarganya.
“Tetap di rumah saja memunculkan permasalah baru seperti membengkaknya pengeluaran rumah tangga, salah satu cara supaya tetap ada pemasukan mau tidak mau harus tetap berjualan,” katanya.
Bagi Hasanah tahun ini tahun yang sulit karena baru pertama kali memulai usaha.
“Apa mau dikata, kebutuhan rumah tangga tetap harus jalan, gara-gara corona jualanku sepi pembeli, modal usaha sudah menipis, bagaimana ini Mas,” kata Hasanah.
Ia berharap wabah virus corona segera berlalu sehingga perekonomian kembali normal. (*)
Editor: Syofiardi