
Oleh: Oksianus Bukega
Sejarah pada dasarnya merupakan cermin sekaligus “mesin” pembentuk karakter suatu pemerintahan. Karena itu dinamika yang terjadi dalam sejarah peradaban suatu pemerintahan mesti dilihat secara utuh dan holistik.
Pendudukan Pemerintah Indonesia di Papua adalah suatu fakta sejarah. Sejarah pendudukan pemerintahan Indonesia itu mendapatkan bentuknya yang formal pada tahun 1962–Papua diintegrasi sebagai bagian dari wilayah kekuasaan pemerintahan Indonesia.
Sejak Papua diintegrasikan ke dalam wilayah kekuasaan Pemerintahan Indonesia, saat yang sama beragam agenda menjadi pekerjaan rumah (PR), yang memiliki tingkatan dan bobot persoalannya sendiri dan dibutuhkan pula penjelasannya tersendiri.
Beberapa agenda ‘aktual’ dalam kaitannya dengan dinamika sosial akhir-akhir ini, yang teridentifikasi dan mesti mendapatkan perhatian dan keputusan Pemerintah Indonesia sesegera mungkin di Papua adalah perang antara TNI vs TPN PB, PON 2020, pilkada 2020, dan penyebaran virus corona (covid-19).
Sejumlah agenda yang diidentifikasi tersebut juga–termasuk agenda lain yang luput dari perhatian pada tulisan ini–memiliki tingkatan dan bobot persoalannya sendiri,
Dalam tulisan ini sejumlah agenda tersebut tidak akan dibahas secara mendetail. Yang menjadi fokus tulisan ini hanyalah sebuah identifikasi agenda pemerintah Indonesia yang menjadi PR menuntut penegakan kebijakaan pemerintah.
Karena itu, tulisan ini bersifat pendokumentasian identifikasi agenda Pemerintah Indonesia di Papua. Sejumlah agenda yang diidentifikasi tersebut memiliki kaitan antara satu agenda dengan agenda yang lainnya, karena itu pembahasannya akan dijelaskan secara berurutan dengan berfokus pada bagian gambaran umumnya saja!
Perang TNI vs TPNPB di Papua
Setelah pendudukan pemerintah Indonesia di Papua pada tahun 1962 agenda yang belum direalisasikan penyelesaiannya pada dekade setelahnya (sesudah integrasi) adalah gerakan nasionalisme rakyat Papua. Rakyat Papua mengklaim bahwa integrasi Papua ke NKRI adalah cacat hukum karena tidak mewakili kehendak rakyat Papua secara keseluruhan.
Dengan demikian keinginan rakyat Papua untuk tidak ingin bergabung dengan pemerintah Indonesia tumbuh subur hingga membentuk gerakan nasionalisme rakyat Papua.
Karena itu, gerakan nasionalisme rakyat Papua yang lahir kemudian adalah bentuk perlawanan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia dengan membulatkan niatnya, untuk mendirikan sebuah pemerintah sendiri.
Dengan demikian terbentuklah organisasi yang formal untuk memperjuangkan niat rakyat Papua tersebut, yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan membentuk bagian pertahanan dan keamanannya yaitu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) yang dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Viktoria.
Keberadaan kelompok TPNPB ini kemudian ditentang oleh Pemerintah Indonesia dengan menggunakan kekuatan militer sebagai bentuk mempertahankan kekuasaan dan kedaulatan pemerintahan Indonesia di Papua.
Ada sejumlah periode dimana pemerintah Indonesia dengan kekuatan militernya berupaya menumpas gerakan nasionalisme TPNPB di Papua, dengan jargon politiknya bahwa gerakan TPNPB ini mengganggu kedaulatan negara (pemerintahan).
Karena itu, dibuatlah label sebagai kelompok separatis, pengacau, kriminal, dan label yang sekarang adalah kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mempertahankan keinginan kedua belah pihak, baik Pemerintah Indonesia, maupun kelompok TPNPB memiliki memoria passionis (ingatan penderitaan) yang masih membekas hingga saat ini.
Baku tembak TNI vs TPNPB yang terjadi di beberapa wilayah Pegunungan Tengah Papua (Nduga, Tolikara, Intan Jaya, Paniai, Mimika, dan Pegunungan Bintang) menambah memoria passionis bagi pemerintah dan rakyatnya di Papua.
Tindakan ini memperlihatkan kenyataan real yang terjadi di Papua dimana kedua belah pihak masih mempertahankan keinginannya.
Hal ini meninggalkan beban dan masih menjadi PR bagi Pemerintah Indonesia di Papua, sebab perundingan untuk memediasi penyelesaian masalah keduanya tergantung pada pemerintahan absolut.
PON 2020 di Papua
Pekan Olahraga Nasional (PON) dibentuk pada 1964 (setahun setelah kemerdekaan Negara Indonesia) dengan nama PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia) yang dibantu oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI); sekarang disebut Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
PON merupakan pesta olahraga nasional, yang diikuti oleh semua provinsi di Indonesia dan biasanya diadakan empat tahun sekali. PON dilaksanakan 8-12 September 1948 dan terakhir PON tahun 2016, di Jawa Barat.
Tahun ini Provinsi Papua sebagai tuan rumah PON XX sesuai Surat Keputusan (SK) Menpora No. 0110 tahun 2014 tertanggal 2 April.
Dalam rangka menyambut PON XX ini ditetapkanlah beberapa kabupaten yang akan menjadi tempat penyelenggaraannya, antara lain, Kabupaten dan Kota Jayapura, Biak, Mimika dan Kabupaten Merauke (Suarapapua.com, 29 Februari 2020).
Dalam agendanya, PON XX di Papua dilaksanakan pada 20 Oktober – 2 November 2020. PON adalah agenda negara, karena itu ajang ini merupakan suatu pesta rakyat yang secara nasional akan dihadiri oleh seluruh provinsi, dari Sabang sampai Merauke.
Untuk menyukseskan PON 2020 pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menargetkan dan menganggarkan dana yang cukup besar, yang terealisasi dalam mempercepat berbagai persiapan dan kesiapan, dan pembangunan venue untuk berbagai macam cabang olahraga.
Persiapan dan kesiapan PON tahun 2020 sejauh ini sudah rampung dan siap dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Dalam euforia persiapan dan kesiapan PON ini, pada saat yang sama pemerintah pusat dan daerah dihadapkan dengan dua realitas yang berbeda.
Di satu sisi terjadi penembakan antara TNI vs TPNPB di beberapa kabupaten di Papua, yang membuat situasi tidak kondusif, sedangkan di sisi lain, yang membuat situasi tidak kondusif adalah wilayah Indonesia dan Papua saat ini mengalami penularan penyakit pandemi virus corona.
Dalam menghadapi dua realitas ini agenda PON 2020 berada di antara dua pilihan, yakni apakah PON tetap dilaksanakan tahun ini atau ditunda dan diagendakan tahun 2021. Hal ini menjadi agenda dan PR bagi pemerintah pusat dan daerah.
Pilkada Serentak 2020
Pilkada serentak dilaksanakan pada September 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020 di Indonesia sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Daerah pemilihan yang terdapat di Provinsi Papua Barat dan Papua masing-masing berjumlah 11 kabupaten di Papua (Nabire, Asmat, Keerom, Waropen, Merauke, Mamberamo Raya, Pegunungan Bintang, Boven Digoel, Yahukimo, Supiori dan Yahukimo) dan 9 kabupaten di Papua Barat (Kabupaten Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, Raja Ampat, Kaimana, Teluk Bintuni, Fakfak, dan Teluk Wondama).
Dalam kesiapan dan persiapan pilkada serentak 2020 ini KPU (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) sudah melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya untuk menyukseskan pilkada tahun ini.
Sosialisasi pilkada dari KPU (pusat sampai daerah) sebagai bentuk fungsi kontrol pun dilaksanakan secara berjenjang di beberapa daerah pemilihan yang ditetapkan.
Dalam proses perkembangan waktu penilaian dan pengidentfikasian terhadap sukses dan tidaknya pilkada serentak 2020 di masing-masing daerah pemilihan itu sudah diprediksi, misalnya, sejumlah wilayah di Papua yang masuk dalam zona rawan konflik antara lain: Kabupaten Yalimo, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Waropen dan Asmat.
Oleh karena itu, diprediksi bahwa pilkada serentak tidak akan diselenggarakan dengan sukses. Selain rawan konflik juga persoalan lain yang mengitarinya, misalnya, daerah yang tidak kondusif karena terjadi baku tembak antara TNI dan TPNPB, serta penyebaran virus corona yang begitu cepat hingga ke daerah-daerah, termasuk Papua, sehingga sejumlah daerah pemilihan harus mengambil kebijakan yang memungkinkan pilkada dibatalkan.
Akhirnya jadwal Pilkada 2020 diputuskan bahwa akan dibahas sesudah pandemi corona berakhir. KPU bersama Komisi II DPR dan pemerintah sepakat menunda pelaksanaan pilkada, yang seharusnya dilaksanakan September 2020.
Mendagri memutuskan akan melihat perkembangan serangan Covid-19 di Indonesia untuk menjadi rujukan penentuan jadwal penyelenggaraan Pilkada 2020. Kemendagri saat ini fokus menuntaskan masalah penanganan virus corona demi keselamatan masyarakat, sebab urusan keselamatan rakyat menjadi terpenting.
Dampak pandemi Covid-19 tidak hanya terasa di Indonesia tetapi secara global. Sebagai bukti, sudah banyak iven besar, termasuk Olimpiade 2020 di Tokyo harus ditunda.
Selain itu, lebih dari 200 negara terdampak virus corona. Pandemi Covid-19 tidak bisa diselesaikan secara lokal, nasional, tetapi harus ada kerja secara internasional. Karena itu, pembahasan pelaksanaan pilkada serentak akan dibahas bersama dengan KPU, Bawaslu, DPR dan DKPP setelah pandemi Covid-19 berakhir (Kumparan.com, 31 Maret 2020).
Pilkada serentak 2020 adalah agenda nasional dan karena itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Penyebaran Virus Corona
Virus corona telah menjadi pandemi global sejak mewabah di Cina pada Desember 2019, sehingga WHO menetapkannya sebagai pandemi global.
Laporan dari berbagai negara untuk menghitung jumlah penderita akibat Covid-19 terus di-update sesuai dengan tingkatan dan jumlah penderita. Negara Indonesia, misalnya, perkembangan kasus kumulatif per 31 Maret 2020 jam 16.00 WIB di-input bahwa 1.528 kasus terkonfirmasi, 81 kasus sembuh dan 136 kasus meninggal (Laporan dari Pusat Krisis Kesehatan).
Sedangkan di Papua orang dalam pemantauan (ODP) per 30 Maret 2020 berjumlah 7.000 orang, angka positif corona tetap 9 orang, 2 di Merauke (dinyatakan sembuh), 5 di Kota Jayapura, dan 2 orang di Timika. Jumlah yang dikonfirmasi ini tidak statis karena itu diprediksi akan bertambah.
Untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 ini pemerintah pusat maupun daerah sudah mengantisipasi dengan membuat sejumlah kebijakan dan peraturan.
Pemerintah menghimbau agar masyarakat mengikuti peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Ada tiga istilah yang populer dalam mengantisipasi penyebaran covid-19, yakni social distancing (pembatasan sosial), physical distancing (menjaga jarak fisik) dan lockdown (mengunci atau karantina wilayah).
Penyebaran covid-19 ini mengancam kehidupan manusia, sekaligus membentuk kesadaran baru dalam berbagai bidang kehidupan, seperti kesehatan, ekonomi, budaya, sosial politik, keagamaan dan pendidikan.
Di Papua melalui Forkopimda Provinsi Papua telah mengambil kebijakan sebagai langkah pencegahan penyebaran Covid-19 dengan membatasi dan menutup sementara pintu akses utama (bandara dan pelabuhan) sejak 26 Maret sampai 9 April 2020.
Penutupan sementara akses utama ini mengundang respons dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat mengatakan bahwa belum ada rencana dari pemerintah untuk mengkarantinakan wilayah atau lockdown. Bila ada daerah yang mengambil kebijakan sendiri dan menutup akses utama, maka kepala daerah akan mendapatkan konsekuensi hukum.
Kendati demikian, banyak daerah yang pada akhirnya tetap memutuskan untuk membatasi aktivitas di wilayahnya. Terutama untuk mencegah penyebaran covid-19.
Adapun daerah-daerah yang mengambil kebijakan dengan menutup akses ke wilayahnya adalah Solo, Bali, Tegal, Papua, Maluku, Banda Aceh (CNBC Indonesia, 30 Maret 2020).
Kalau semua pemerintah daerah (pemda) di Indonesia mengambil kebijakan sendiri untuk lockdown atau cara lain untuk mencegah penularan Covid-19, sebenarnya itu justru sangat membantu pemerintah pusat, sehingga pemda setempat dengan kebijakan masing-masing mengatur keselamatan bagi warganya, bukan “menunggu” keputusan pemerintah pusat.
Jika harus menunggu keputusan pemerintah pusat, maka dengan sendirinya pemerintah membuka peluang percepatan penyebaran virus corona.
Dengan pemahaman lain, boleh dikatakan bahwa negara dalam hal ini sengaja dengan berbagai alasan memperlambat pencegahan virus corona agar warganya “mati banyak”, sebab warga negara mati tidak akan menunggu keputusan pemerintah pusat.
Pandanglah dengan kaca mata positif. Undang-undang dan hukum-hukum positif yang dibuat untuk kebaikan manusia, sehingga dalam suasana emergency, biarkan pemda setempat mengambil keputusan demi keamanan dan keselamatan warganya.
Empat agenda yang diidentifikasi di atas–perang TNI vs TPN PB, PON 2020, Pilkada 2020 dan Covid-19, menjadi agenda Pemerintah Indonesia di Papua. Semua agenda yang teridentifikasi itu amat penting untuk diambil kebijakan dan keputusan segera, sebab semua agenda itu memiliki tingkatan dan bobot persoalannya sendiri.
Walaupun demikian, pemerintah dalam hal ini, mesti selektif dalam mengutamakan agenda mana yang lebih penting dan mendesak untuk didahulukan. Sekali lagi, agenda aktual yang diidentifikasi itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia di Papua. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua