Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15090

Partisipasi sekolah anak di Merauke terus menurun

$
0
0
Papua No.1 News Portal | Jubi ANGKA partisipasi sekolah di Kabupaten Merauke tidak mengalami banyak peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke menggambarkan angka bahwa tingkat partisipasi sekolah, dari tingkat SD, SMP hingga SMA cenderung menurun.   GAMBARAN RIIL TERSEBUT terlihat di Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua. Dari versi masyarakat, minimnya angka partisipasi sekolah atau pun putus sekolah disebebabkan oleh minimnya pemenuhan kebutuhan anak secara mental. “Ada rasa minder dengan temannya, fasilitas tempat tinggal maupun kebutuhan makan-minum saat melanjutkan pendidikan. [Karena] Tiga persoalan itu, sehingga membuat anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP maupun SMA, putus sekolah dan memilih pulang ke kampung,” kata Pendeta Sefnat Oram Gat Mahuze, salah seorang pendeta di Kampung Kaliki, saat ditemui Jubi, Senin [15/6/2020] lalu. Penuturan Pdt. Gat Mahuze terlihat dalam data terakhir [update] yang disajikan BPS Merauke selama lima tahun berturut-turut [2010-2014]. Trend yang terlihat, pada usia anak sekolah dasar [7-12 tahun], SMP [13-15 tahun] serta SMA [16-18 tahun] setiap tahunnya mengalami penurunan. Tingkat partisipasi sekolah dari anak SD ke SMP dan selanjutkan ke SMA cenderung berkurang setiap tahunnya. Data terakhir, misalnya tahun 2014. Tingkat partisipasi SD 95,93 persen, berkurang di tingkat SMP 94 persen, dan SMA 80,99 persen. Pdt. Mahuze membenarkan hal tersebut. “Banyak anak putus sekolah untuk tingkat SMP dan SMA di kampung Kaliki. Hanya beberapa anak yang bertahan entah di bangku SMP maupun SMA. Namun lebih banyak yang memilih pulang,” ujarnya. Perlu siap fisik dan mental Mengutip Majalah Nova edisi 1481, secara garis besar ada dua persiapan yang dibutuhkan seorang anak. Pertama persiapan fisik, kedua persiapan mental. Demikian dijelaskan psikolog Dewi Puspa Hardiawan, M.Psi. Ia menjelaskan, di sekolah anak akan melakukan aktivitas yang mungkin jarang atau belum pernah dilakukannya di rumah. Ia akan lebih banyak bergerak, baik itu saat berolahraga atau bermain. Dengan demikian keterampilan motoriknya akan meningkat. Hal ini dapat mengembangkan kreativitas dan keterampilan hidup. Alhasil, anak bisa belajar kemandirian. Kemudian, persiapan mental dibutuhkan untuk meningkatkan rasa percaya diri. Tak hanya itu, anak juga perlu dibantu mengatasi rasa cemas, dan berani berkenalan dengan orang baru di lingkungan baru. Dengan mental yang siap, anak dapat merasa nyaman berada di sekolah. Interaksi sosialnya pun berjalan lancar, sehingga meningkatkan keterampilan sosial dan emosional. Hal ini akan mendorongnya belajar berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan. Sejumlah persiapan yang diperlukan tentu berbeda menurut usia dan jenjang pendidikan. Mulai dari pra sekolah hingga sekolah dasar, punya kebutuhan masing-masing. Namun, muncul satu tanya: bagaimana persiapan para orang tua di pedalaman Papua, seperti di Kampung Kiliki ini? Wartawan Mongabay pada isu masyarakat adat dan sosial lingkungan, Asrida Elisabeth melihat terdapat gap yang cukup jauh, khususnya para orang tua di perkotaan dengan orang tua di pedalaman, seperti di Papua. “Saya rasa di Papua, masalahnya jauh lebih kompleks,” katanya. Kata Asrida, berbicara pendidikan anak dan peran orang tua di pedalaman Papua harus dilihat juga latar belakang kondisi sosial politiknya, ekonominya, sampai kebudayaan. “Jadi, kalau perhatian pada pendidikan anak itu kurang, justeru kita harus bertanya bagaimana situasi yang sedang dialami orang tuanya, lingkungannya? Situasi orang tuanya ini juga yang harus jadi perhatian semua pihak, selain anak-anak itu sendiri,” kata Asrida yang juga mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Politik, Jurusan Magister Antropologi Universitas Cenderawasih. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menolong anak-anak usia sekolah seperti di Kaliki, kata Pdt. Mahuze, adalah dengan membangun sekolah satu atap. “Saya berharap agar SMP/SMA Satu Atap yang telah digagas oleh Pak Sergius Womsiwor menghadirkan pendidikan di Kampung Kaliki, harus segera direspons pemerintah. Karena anak-anak ini adalah orang asli Papua dan wajib diberikan perhatian,” ujarnya. Penggagas pembangunan SMP/SMA Satu Atap Kaliki, Sergius Womsiwor beberapa waktu lalu membenarkan angka putus sekolah tinggi, sehingga ia berusaha menghadirkan sekolah di sana. “Tidak hanya anak-anak di Kampung Kaliki, tetapi juga beberapa kampung sekitar lain,” ujarnya. (*) Editor: Yuliana Lantipo

Viewing all articles
Browse latest Browse all 15090

Trending Articles