Quantcast
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15288

Pasal makar perlu ditinjau kembali

Papua No. 1 News Portal | Jubi Makassar, Jubi - Tahanan politik atau Tapol Papua yang diadili dan menjalani hukuman di Balikpapan, Kalimantan Timur berpendapat pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP perlu ditinjau kembali. Pernyataan itu dikatakan satu di antara tujuh Tapol Papua, Alexander Gobay yang bebas dari rumah tahanan (Rutan) Balikpapan pada 2 Juli 2020. Presiden Badan Eksekutif Mahasiwa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura atau BEM USTJ itu khawatir, pasal makar akan selalu digunakan menjerat siapapun yang menyuarakan penyelesaian berbagai masalah di Papua seperti yang dialami pihaknya. Para Tapol Papua, yakni empat mahasiswa dan tiga aktivis itu dinyatakan melanggar pasal makar oleh hakim Pengadilan Negeri Balikpapan, saat sidang putusan pada 17 Juni 2020. Mereka yang dikenal dengan sebutan kelompok Balikpapan Seven ini, dituduh mengkoordinir massa dan melakukan upaya makar dalam unjuk rasa antirasisme yang meluas menjadi rusuh di Kota Jayapura, 29 Agustus 2020. "Saya harap pasal makar ditinjau kembali, untuk menetapkan [atau memperjelas] unsur-unsur [kategori] makar agar tidak selalu multi tafsir. Kalau perlu hapuskan saja karena Undang-Undang juga memberi kebebasan kepada setiap warga negara menyampaikan pendapat," kata Alexander Gobay melalui panggilan telepon, Jumat (3/7/2020). Katanya, mungkin Jakarta (Pemerintah Indonesia) sudah melekatkan stigma separatis terhadap orang asli Papua. Akibatnya, setiap kali orang asli Papua menyampaikan aspirasinya, mereka selalu dianggap berupaya melakukan makar. Ini tidak hanya dialami organisasi-organisasi di Papua, yang dianggap bertentangan dengan pemerintah. Mahasiswa dan masyarakat juga distigma serupa. "Ketika kami [mahasiswa menggelar] demonstrasi, bukan berarti kami mau berupaya makar. Kami hanya ingin pemerintah tahu ada berbagai masalah di Papua yang mesti diselesaikan," ujarnya. Ia juga berpesan kepada Pemerintah Indonesia agar berniat baik menyelesaikan berbagai masalah di Papua. Mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi, marginalisasi, rasisme hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). "Sebaiknya Jakarta dan Papua duduk bersama menyelesaikan ini. Mencari solusi terbaik," ucapnya. Ia berpendapat, hal utama yang  perlu diselesaikan adalah masalah politik Papua. Kalaupun masalah lain dituntaskan, jika akar masalah politik tak diselesaikan akan tetap menimbulkan polemik antara pemerintah pusat dengan pihak di Papua. "Kan sudah jelas ada empat masalah Papua sesuai penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakni kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, juga sejarah dan status politik [wilayah] Papua," katanya. Dalam sebuah diskusi daring pertengahan Juni 2020 lalu, akademisi dari Universitas Cenderawasih Jayapura, Elvira Rumkabu berpendapat stigma Papua Mardeka yang selalu dilekatkan pada orang asli Papua menutupi isu-isu lain di Papua, misalnya isu kemanusiaan. Ia mengatakan, konstruksi politik melahirkan dua identitas di Papua, yakni identitas atau stigma Papua merdeka dan identitas NKRI harga mati. "Bagi saya konstruksi ini sangat mengerikan. Ini mematikan aspirasi-aspirasi, isu-isu [lain misalnya isu] kemanusiaan di Papua," kata Elvira Rumkabu. Menurutnya, dengan adanya stigma NKRI harga mati dan Papua merdeka, para pihak di Papua tidak diberi ruang bicara isu-isu lain karena khawatir dianggap melakukan upaya makar. "Misalnya kasus Nduga, kadang kita takut bicara kasus Nduga karena sudah ada stigmatisasi seperti itu," ujarnya. Kata Elvira Rumkabu, kini mesti dipikirkan konsep yang harus dibuat ke depannya. Mesti ada perubahan-perubahan cara pandang dalam institusi negara, perubahan aturan dan perubahan dalam struktur. (*) Editor: Edho Sinaga

Viewing all articles
Browse latest Browse all 15288

Trending Articles