Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi - Komisioner Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara menyatakan kasus Abepura mesti menjadi catatan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM lain di Papua.
Pernyataan itu dikatakan Beka Hapsara saat diskusi daring "Apa Kabar Penyelesaian Pelanggaran HAM Biak, 6 Juli 1998?".
Diskusi ini digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Senin petang (6/7/2020).
"Memang betul, salah satu catatan Pengadilan HAM [adalah] kasus Abepura. Pelaku utama tidak diadili, keadilan kepada korban juga keluarganya belum ada. Saya kira itu catatan ketika kita hendak menyelesaikan kasus-kasus lain di Papua," kata Beka Hapsara.
Kasus Abepura dikategorikan pelanggaran HAM berat. Penyelesaiannya menggunakan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dua perwira polisi yang bertugas di Papua saat peristiwa itu menjadi terdakwa utama, dan diadili di Pengadilan HAM Makassar, Sulawesi Selatan pada 8-9 November 2005.
Akan tetapi keduanya bebas dari semua dakwaan. Nama mereka dipulihkan dan negara mempromosikan jabatan baru kepada keduanya.
Sementara itu, para korban dicap sebagai separatis dan sama sekali tidak mendapat kompensasi dari negara.
Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Abepura berdarah itu, berawal dari penyerangan Polsek Abepura oleh kelompok tak dikenal, 7 Desember 2000.
Penyerangan yang mengakibatkan kebakaran ruko di sekitar Lingkaran Abepura ini, disikapi refresif aparat kepolisian.
Mereka menyisir sejumlah asrama mahasiswa, dan kawasan permukiman penduduk untuk mencari pelaku. Penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan penahanan tanpa prosedur hukum pun terjadi.
Elsham Papua mencatat, 150 orang menjadi korban kekerasan aparat keamanan dalam peristiwa itu. Tiga warga sipil meninggal saat penyisiran dan tujuh lainnya meninggal setelah karena penyiksaan setelah ditangkap.
"Yang ada di depan mata kini adalah kasus Wasior [di Papua Barat], kasus Wamena dan kasus Paniai. Jangan sampai hasil penyelidikan Komnas HAM menguap begitu Saja. Tidak ada penyelesaiannya," ujar Beka Hapsara.
Katanya, kalaupun nanti ada penyelesaian melalui proses Pengadilan HAM dan lainnya, jika tidak ada pelaku yang dijatuhi hukuman, sama saja tidak ada keadilan terhadap para korban.
"Belum lagi soal kompensasi, rehabilitasi dan lainnya. Saya pikir ini catatan bagaimana penyelesaian pelanggaran kasus HAM di Papua," ucapnya.
Satu di antara korban selamat dalam kasus Biak Berdarah, peristiwa yang diduga juga merupakan pelanggaran HAM berat, Mama Tineke Rumkabu mengatakan jika kasus-kasus pelanggaran HAM lain di Papua akan disidangkan, mesti dilakukan di Pengadilan HAM Internasional agar korban mendapat keadialan.
"Sepanjang kami bersama Indonesia, kami tidak pernah mendapat keadilan. Misalnya kasus Abepura berdarah. Disidangkan di Makassar, orang Papua tidak mendapat keadilan," kata Mama Tineke Rumkabu.
Menurutnya, korban dan keluarga korban tragedi Biak Berdarah tidak yakin peristiwa, 6 Juli 1998 itu akan berbuah keadilan.
"Kami korban Biak Berdarah menolak melawan lupa. Kalaupun kasus Biak Berdarah disidangkan, korban tak akan pernah mendapat keadilan. Hingga kini korban yang masih hidup, trauma dan ketakutan," ujarnya. (*)
Editor: Edho Sinaga
↧