Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15083

Pansus otsus tidak akan menyelesaikan polemik Otsus 2021

$
0
0
Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Soleman Itlay Hampir semua fakta lembaran sejarah penting masa lalu tentang West Papua sarat dengan perundingan segitiga yang ilegal dan tidak demokratis. Maka tidak ada yang salah kalau polemik Otsus 2021 diselesaikan melalui perundingan segitiga (internasional) yang lebih legal dan demokratis pula. Soal sejarah masa lalu bisa dilihat dari jejak transaksi tanah Papua antara Sultan Tidore dan pemerintah kolonial Belanda dengan harga f 6000 pada abad ke-18 (1720-an), KMB (23 Agustus – 2 November 1949), New York Agreement (15 Agustus 1962), Roma Agreement (30 September 1962), hari aneksasi/integrasi  (1 Mei 1963), MoU Freeport (7 April 1967), Pepera 1969, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah ini penuh dengan perundingan segitiga. Di dalamnya lebih banyak melibatkan peran imperialis Amerika Serikat, Indonesia, dan Belanda. Mereka melakukan semua itu secara sepihak, tanpa kompromi dengan orang West Papua selaku tuan tanah. Beberapa orang Papua, seperti Frans Kaisiepo dkk. memang berpartisipasi dalam melegitimasi sejarah masa lalu West Papua, tetapi mereka tidak diutus atau tidak mendapat mandat dari orang West Papua. Partisipasi mereka lebih untuk mengikat dan melegalkan sejarah perundingan-perundingan di atas, sekaligus untuk meyakini semua pihak di kemudian hari, bahwa pencaplokan West Papua sudah sah. Peran mereka itu bagi kolonial sangat berjasa dan merupakan sebuah pengorbanan yang sangat penting, sehingga mereka diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia. Indonesia berhasil karena partisipasi Frans Kaisiepo dkk. dapat mengatasnamakan 800.000 populasi orang Papua pada 1960-an. Kemudian dapat melegitimasi bentuk-bentuk perundingan maupun peristiwa lain pada masa lalu. Namun, di mata orang asli Papua, mereka adalah pengkhianat, karena mereka meletakkan nasib dan masa depan orang West Papua di tangan kolonial Indonesia secara diam-diam. Mereka menyetujui pencaplokan wilayah atas desakan kolonial Indonesia untuk menjadikan West Papua sebagai daerah koloni baru. Pendekatan lama dan aktivitas milisi baru Pasca pencaplokan, Indonesia tetap menggunakan pendekatan yang sama. Hari ini menciptakan banyak kelompok milisi di West Papua, yang (diindikasi) melibatkan aparat keamanan dan masyarakat sipil. Milisi tidak hanya melibatkan orang asli Papua (OAP), tetapi juga non-OAP. Tujuannya adalah memperkokoh/menegakkan wibawa dan kekuasaan, sekaligus memperpanjang masa pendudukan selain mengeksploitasi sumber daya alam di West Papua. Target yang lebih jauh adalah menciptakan konflik horizontal. Bisa dikatakan sebagai kelompok milisi kontra perjuangan menentukan nasib West Papua atau kontra pelurusan sejarah masa lalu. Mereka direkrut dan dibina sedemikian rupa untuk melawan sekaligus menangkal pergerakan/perlawanan OAP terhadap perundingan gelap masa lalu dan melawan sistem penindasan bercorak aneksasi. Pada momen-momen penting atau katakanlah saat hari-hari besar dalam sejarah OAP (misalnya 1 Mei dan 17 Agustus), biasanya milisi digunakan untuk membenarkan sejarah masa lalu atau sekadar membangun sentimen sosial dengan mengatasnamakan orang-orang tertentu atau lembaga orang West Papua, seperti TPNPB/OPM. Biasanya pada dua momen ini ada orang-orang yang menyerahkan diri dengan atribut atau peralatan yang bercorak Papua Merdeka dan TPNPB/OPM. Hampir setiap tahun fenomena seperti ini muncul di West Papua, tetapi sejak Januari sampai Juli 2020 tidak kelihatan. Apakah karena tahun ini berkaitan dengan pandemi global, Covid-19 atau karena hal lain? Jika ingin mengetahui ini, tanyakan pada pemerintah yang membentuk, memelihara dan menyiapkan kelompok dan fenomena laten seperti itu. Lebih banyak di situ melibatkan peran aparat keamanan yang menurut Jaap Timer adalah ‘jaringan aliansi-aliansi yang berebut kontrol dan “kekuasaan” politik serta bisnis predator’ (Timmer 2014: 598). Bahkan milisi ini kerap "diminta" untuk mengeluarkan pernyataan di media massa agar mendukung pemerintah Indonesia atau mengecam kelompok nasionalis Papua. Di sini Indonesia memakai jasa sejumlah orang West Papua, bahkan paguyuban yang tidak jelas untuk mengajak orang lain agar mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi sejarah-sejarah masa lalu Papua. Negara memfasilitasi kelompok masyarakat yang mudah kompromi agar mengangkat sejumlah orang dari kalangan milisi tersebut sebagai tokoh masyarakat, adat, pemuda, agama, perempuan dan lainnya. Kemudian meminta mereka untuk membangun opini seputar sejarah masa lalu dan realitas saat ini seturut kehendak pemerintah Indonesia. Lebih daripada itu bertujuan untuk mendukung kekuasaan politik dan proses pendudukan di West Papua. Belakangan ini sangat terasa karena peran dan partisipasi mereka dalam diplomasi luar negeri, tetapi juga dalam mendukung segala upaya pemerintah Indonesia di West Papua. Dalam sejumlah konflik, termasuk dalam peristiwa diskriminasi rasial kolonial terhadap orang West Papua baru-baru ini, mereka sangat berperan penting. Mereka menjadi jembatan untuk menghubungkan pemerintah Indonesia dengan OAP. Kadang-kadang mereka dilibatkan dalam kebijakan tertentu untuk mendukung pemerintah. Besar harapannya adalah agar mereka dapat mempengaruhi masyarakat sipil di West Papua, mendukung kebijakan pemerintah dan menekan ruang dan opini orang West Papua, yang menolak dan melawan kebijakan pemerintah Indonesia di West Papua. Pada era reformasi Presiden B.J. Habibie menggantikan Soeharto yang lengser tahun 1998 atas desakan masyarakat Indonesia melalui mahasiswa. Setahun kemudian Habibie digantikan oleh Gus Dur melalui pemilihan MPR dan pemilu 1999. Wakil dari tokoh muslim ini adalah Megawati Soekarno Putri. Kehadiran Gus Dur di istana presiden persis saat tuntutan merdeka dan referendum Timor Leste (referendum 30 Agustus 1999 dan diakui PBB tahun 2002) dan West Papua sangat menggema dimana-mana. Tuntutan kemerdekaan atau referendum, serta gugatan Pepera 1969 dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di West Papua pun ikut membahana di telinga Gus Dur. Kemudian beliau meminta supaya orang West Papua membentuk sebuah  tim “semacam’ perundingan untuk bertemu dengannya dan membicarakan status politik orang West Papua di Indonesia (perubahan nama dari Irian Barat ke Papua). Juga memperjelas identitas orang West Papua di Indonesia. Sesuai dengan arahan itu, orang West Papua membentuk sebuah wadah perundingan. Namanya Tim 100. Tim ini dipercayakan dan mendapat mandat langsung dari seluruh elemen orang West Papua. Almarhum Theys H. Eluay diangkat sebagai pemimpin dan mendapat mandat melalui Kongres Papua II yang cukup demokratis (tapi jelas ada manuver BIN dan BAIS di dalam). Salah seorang yang terlibat atau menjadi anggota di dalam Tim 100 itu adalah Marthen Patay. Selain itu, ada juga Benny Giyai, Herman Saud, Agus Alua (almarhum), dan Tom Beanal. Di sebuah kesempatan, eks dosen Uncen yang memutuskan keluar gara-gara Papua Merdeka guna memfokuskan investigasi dan advokasi hak-hak dasar orang West Papua ini berkata di kantor GABAH Papua pada 2018, “Pembentukan Tim 100 itu bertujuan untuk melakukan perundingan dengan Presiden Gus Dur dengan tujuan agar mengubah nama Irian Barat ke Papua dan memperjelas perangkat harkat, martabat, derajat orang West Papua berdasarkan budaya dan politik." Gus Dur hampir saja melepaskan West Papua seperti Timor Leste. Dalam pertemuan dengan Tim 100 ia ingin menyampaikan sejumlah hal, kebebasan orang West Papua untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora, menyanyikan lagu ‘Hai Tanahku Papua’ dan lain sebagainya. Tim tandingan ala kolonial Tetapi menurutnya, BIN-BAIS telah mencium orientasi politik Gus Dur terkait West Papua. Hal ini bisa dilihat dari peran BIN-BAIS bersama Megawati Soekarno Putri di balik layar. Mereka diam-diam menyiapkan strategi alternatif. Tidak lama kemudian mereka membentuk tim tandingan. Tim ini melibatkan orang West Papua sendiri. Orang yang (diduga) sangat berperan besar saat itu ialah Freddy Numberi. Numberi bersama rekan-rekannya mendapat fasilitas, mobilitas dan aksesibilitas yang sangat luar biasa. Kelompok Freddy sudah melakukan manuver ke dalamnya. Mereka ini yang menurut Patay lebih dulu ketemu Gus Dur mengatasnamakan orang West Papua. Pertemuan ini sangat menentukan sudut pandang Gus Dur yang nantinya bertemu dengan Tim 100. Niat dan tekad baik Gus Dur berubah dengan adanya informasi mengenai pelengserannya. Pelengseran Gus Dur dan penculikan Theys H. Eluay dan Otsus Pada 21 Juli 2001, kepemimpinan Gus Dur dicabut oleh MPR dan digantikan oleh Megawati dengan alasan keterbatasan indera mata dan lainnya. Tidak lama kemudian, Kopassus menculik dan membunuh Theys H. Eluay bersama Aristoteles Masoka, sopirnya, di Skyline, Jayapura, 10 November 2001. Dibawah kendali Megawati, situasi di West Papua semakin mengada-ada. Gejolak politik terkait kemerdekaan West Papua pun semakin meningkat pesat dengan adanya gerakan dan protes besar-besaran melalui demonstrasi di seluruh West Papua. Saat itu, orang West Papua mulai melancarkan Musyawarah dan Kongres Papua di GOR Cenderawasih. Di sini, mereka mengidentifikasi persoalan masa lalu, mengorganisir seluruh elemen masyarakat dan secara kompak meminta pengakuan kedaulatan politik, referendum, menggugat Pepera 1969 dan menyelesaikan pelanggaran HAM. Tetapi ini sama sekali ditolak oleh Megawati. Untuk meredam ini, Megawati menawarkan Udang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Megawati menandatangani undang-undang ini pada 21 November 2001 untuk diberlakukan di West Papua selama 20 tahun (2001-2021). Bahaya dari mode pendekatan lama Seorang seperti Freddy Numbery yang pada 2001 berperan penting dalam pemberlakukan otsus di West Papua kini mulai muncul kembali jelang otsus berakhir 2021. Mereka menyambut RUU Otsus dan Pansus ala Jakarta dengan hati yang gembira, bahkan terus membangun pendekatan kepada masyarakat sipil West Papua untuk mendapat dukungan. Di samping itu mereka terus membangun opini publik melalui webinar dan lain sebagainya. Tentu ini akan berdampak besar pada 2021. Barang tentu, ini kolonial meniru pendekatan lama. Dulu dia melibatkan Frans Kaisiepo dkk untuk ikut melegitimasi sejumlah perundingan. Setelah itu, Indonesia menciptakan dan memanfaatkan peran "Frans Kaisiepo" baru, kelompok Fredi Numbery dkk untuk mendukung kebijakan politik etis dan segala bentuk penindasan di West Papua. Sekarang, pada saat Otsus mau berakhir, Indonesia memakai orang-orang itu, bahkan muka-muka baru untuk ikut mendukung pemerintah Jakarta. Belakangan ini mereka membangun opini dan pendekatan kepada masyarakat West Papua, terutama terhadap milisi, yang hampir semua daerah memiliki basisnya. Bagi Indonesia ini sebuah pendekatan yang efektif dan solusif. Namun apakah pendekatan semacam itu menyelesaikan konflik di West Papua? Apakah pembentukan pansus ala kolonial Indonesia bersama kaum oportunis dan borjuis ini akan diterima oleh orang West Papua? Tidak. Sejarah masa lalu sangat jelas. Pendekatan atau pembentukan Pansus Otsus sepihak seperti itu tidak menyelesaikan persoalan di West Papua. Justru itu akan menimbulkan atau memperparah nasib dan masa depan West Papua. Jalan lain yang bisa menyelesaikan persoalan West Papua adalah dengan pendekatan perundingan segitiga yang mengutamakan prinsip kemanusiaan. Dengan kata lain, mempertimbangkan kemauan dan nasib, serta masa depan manusia West Papua. (*) Penulis adalah masyarakat Papua tinggal di Jayapura

Viewing all articles
Browse latest Browse all 15083

Trending Articles