Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi - Advokat HAM Papua, Iwan Niode mengatakan upaya berbagai pihak menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua melalui proses yudisial, tak ada artinya jika pada akhirnya pelaku bebas dari semua tuntutan.
Pernyataan itu dikatakan Iwan Niode dalam diskusi daring Papua Strategic Policy Forum #5 "Urgensi Pembentukan Pengadilan HAM & Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua" pada Senin (20/7/2020).
Menurutnya, kasus Abepura berdarah merupakan contoh nyata. Dua oknum perwira polisi yang bertanggung jawab dalam kasus itu diputus bebas Pengadilan HAM Makassar, Sulawesi Selatan pada November 2005 lalu.
"Untuk apa ada Pengadilan HAM kalau hasilnya juga membebaskan pelaku. Apa artinya sebuah proses pengadilan HAM kalau hasilnya merupakan impunitas secara hukum terhadap pelaku," kata Iwan Niode.
Katanya, hal inilah yang mesti dipikirkan Komnas HAM jika ingin menyelesaikan pelanggaran berat masa lalu di Papua melalui proses yudisial.
Iwan mengatakan, upaya Komnas HAM membawa beberapa kasus pelanggaran HAM lainnya di Papua ke Pengadilan HAM, bukan baru belakangan ini.
Upaya itu sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu, pada masa komisioner Komnas HAM periode beberapa tahun lalu.
Akan tetapi, hingga kini kasus yang ada itu tak kunjung selesai. Misalnya kasus Wamena yang penyelidikannya dilakukan sejak 2004 lalu.
"Saya waktu itu terlibat dalam penyelidikan kasus Wamena. Akan tetapi seiring waktu kasus itu tidak terselesaikan. Hanya berakhir dalam proses diskusi," ujarnya.
Ia mengkritik tarik ulur antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam kasus Paniai. Kejaksaan Agung telah dua kali mengembalikan berkas kasus ke Komnas HAM.
Berkas kasus dinyatakan tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan, karena syarat formil dan meteriil belum terpenuhi.
Iwan berpendapat, apa yang terjadi di antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung adalah cerita lama yang didaur ulang, untuk menjawab pertanyaan publik bagaimana proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.
"Bukan saja bagaimana menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui sebuah proses pengadilan, tapi yang penting hasilnya," ucapnya.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan, secara umum penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia memang belum menemui titik terang.
Menurutnya, ketika bertemu Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada November 2018 lalu, pihaknya ditanyai rekomendasi dan catatan Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, dan mesti dimulai dari kasus apa.
"Kami tunjuk satu kasus yakni kasus Wasior [di Papua Barat dan kasus] Wamena. Kedua kasus ini dapat dibawa ke Pengadilan HAM," kata Beka Hapsara.
Selain itu kata, kedua kasus itu juga belum terlalu lama. Berbagai bukti, saksi korban, dan pelaku masih bisa dipanggil.
Ia mengatakan, Presiden ketika itu meminta Kejaksaan Agung menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM. Hanya saja Kejaksaan Agung menindaklanjuti dengan mengembalikan berkas yang ada.
"Bukan dilanjutkan ke penyidikan. Alasannya tidak memenuhi syarat formil dan materiil," ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga
↧