Papua No.1 News Portal | Jubi
Peringatan tulisan ini berisi informasi yang sensitif terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Oleh Miranda Forsyth
Saat itu saya baru saja menyelesaikan sebuah jurnal tentang anak-anak dan kekerasan terkait tuduhan sihir (SARV) ketika seorang rekan saya menghentikan saya dan bercerita mengenai kunjungannya baru-baru ini ke sebuah kantor polisi.
“Saya sedang ada di stasiun, berdebat dengan anggota-anggota polisi tentang mengapa mereka harus campur tangan dan menyelamatkan seorang warga Papua Nugini yang sedang dianiaya” kisahnya. “Mereka mengucapkan berbagai alasan sehingga saya menjadi semakin frustrasi. Lalu seorang anak perempuan kecil datang, mungkin umurnya baru delapan tahun. Dia mendengar pembicaraan saya dengan para polisi dan kemudian berkata ‘Oh, maksudmu perempuan itu? Mereka tadi memaksanya untuk makan ikan kalengan, tetapi dia tidak mau, jadi mereka menelanjanginya dan mulai menyiksanya dengan besi panas.’ Anak itu tersenyum.”
Banyak anak-anak kecil di PNG yang menyaksikan tindakan kekerasan ekstrem terhadap orang-orang yang dituduh menggunakan ilmu sihir. Bagi beberapa anak, mereka harus menyaksikan orang tua mereka sendiri disiksa di hadapan mereka, bahkan ada yang dipenggal. Dalam beberapa kasus yang sangat tragis, anak-anak juga turut melakukan penyiksaan terhadap orang tua mereka sendiri.
Ketika saya pertama kali memulai penelitian tentang kekerasan terkait tuduhan sihir, tidak pernah terbayangkan dalam benak saya untuk memasukkan pertanyaan tentang anak-anak. Tapi anak-anak terus bermunculan dalam kisah-kisah yang saya dengar – baik anak-anak yang menyaksikan keluarga dan teman-teman mereka disiksa dan dibunuh, maupun terpaksa melarikan diri karena ada tuduhan terhadap keluarga mereka dan, lebih buruk lagi, anak-anak juga dituduh sehingga mereka melukai diri mereka sendiri.
Bahkan bayi yang masih dalam kandungan ibunya pun tidak aman dari ancaman ini. Tim penelitian kami di lapangan pernah bertemu dengan seorang perempuan yang dituduh melakukan ilmu gelap pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Saat ia dianiaya, dia dicap menggunakan tongkat logam panas yang juga dimasukkan ke dalam vaginanya. Ia melahirkan bayinya keesokan harinya dengan bekas luka bakar, bayinya tidak selamat. Sang mama ingin menamai bayinya Maria, jadi bayi tersebut dimakamkan dengan nama itu tertulis dengan spidol di salib di atas kuburannya, seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas. Mamanya agak tersembunyi, di sisi kiri foto itu, ia sedang membersihkan kuburan Maria.
Ketika saya dan tim penelitian saya mulai mempertimbangkan anak-anak dalam studi kami, kami menemukan tiga hal utama.
Pertama-tama, saat ini anak-anak juga dituduh sebagai pengguna ilmu gelap di PNG. Hal ini tampaknya merupakan perkembangan yang baru mulai terjadi, namun kita sendiri tidak dapat memastikan hal ini karena data yang ada tentang SARV masih sangat minim. Dalam kajian media yang kita lakukan mengenai insiden-insiden SARV yang dilaporkan sejak tahun 1996, anak-anak mulai bermunculan sebagai korban primer dan sekunder SARV sejak tahun 2005, tetapi liputan-liputan itu kurang lengkap. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan bisa dituduh, seringkali karena salah satu dari orang tua atau kerabat dekat mereka telah dituduh, karena ada keyakinan bahwa, entah bagaimana, sihir bisa ‘diwariskan’ kepada anak-anak. Oleh karena itu, kita dapat menganggap SARV sebagai sebuah masalah antargenerasi, dimana stigma-stigma yang terkait dengan tuduhan melakukan ilmu sihir bisa diturunkan melalui garis keluarga dan dapat membuat anak-anaknya dicela seumur hidup mereka.
Secara umum karakteristik anak-anak yang dituduh, diringkas dari data-data kami, adalah: anak-anak memiliki orang tua/kerabat yang juga dituduh (ini tampaknya merupakan faktor yang dominan), masih ada perilaku anak itu yang dianggap buruk atau tidak sesuai (diduga disebabkan oleh roh sihir yang bersemayam dalam raganya), anak tampak tidak sehat (anak kurang gizi, perut bengkak, dll. dimana masyarakat percaya bahwa roh jahat telah merasuki anak itu), anak banyak memakan babi atau daging berlemak lainnya, dan anak-anak yang punya ibu tiri yang membenci mereka juga tampaknya kadang berada dalam situasi dimana mereka dituduh sebagai sumber ilmu sihir.
Ada laporan-laporan serupa, tentang tingginya angka anak-anak yang dituduh melakukan sihir dan ilmu gaib, di banyak negara lainnya di dunia, bahkan di daerah-daerah di mana biasanya orang dewasa yang dituduh. Misalnya di Afrika, banyak anak-anak juga dituduh dan ditelantarkan untuk hidup di jalan-jalan dan harus berjuang sendiri. Faktor penting yang menyebabkan tuduhan terhadap anak-anak di Afrika adalah pengaruh dari sebuah gereja, terutama oknum-oknum pendeta yang mengaku bisa mengeluarkan roh-roh jahat dari anak-anak.
Hal kedua yang kami temukan adalah bahwa anak-anak merupakan korban sekunder – atau mereka yang terkena dampak tidak langsung – akibat SARV. Hampir 30% dari kasus yang kami terima mencakup dampaknya terhadap anak-anak yang memiliki hubungan keluarga tersangka korban atau bahkan di masyarakat. Dampak SARV pada pengalaman anak-anak di sekolah – termasuk terlantar dan putus sekolah, menjadi korban stigma dan berprestasi buruk di sekolah – sering bermunculan dalam wawancara kita.
Ketiga, kita juga menemukan bahwa kematian anak dan gangguan kesehatan pada bayi atau anak-anak dapat memicu tuduhan sihir terhadap anak-anak. Berdasarkan data yang bisa dikumpulkan, kita menemukan bahwa kematian bayi dan anak-anak adalah penyebab utama tuduhan penggunaan ilmu gelap untuk hampir 17% kasus yang dianalisis, dan jumlah ini kemungkinan besar lebih tinggi karena keterbatasan dalam pengumpulan data.
Hasil analisis ini adalah salah satu temuan yang perlu ditanggapi dengan sangat serius dalam situasi Covid-19 di PNG saat ini, untuk memastikan bahwa kematian anak-anak sebagai akibat dari wabah Delta baru-baru ini tidak menyebabkan serangkaian tuduhan sihir dan pembunuhan. Dengan kata lain, kematian anak-anak akibat Covid-19 perlu di-normalisasi agar tidak ada yang menyalahkan ilmu sihir.
Kita berharap bahwa studi ini bisa menunjukkan banyak hal yang masih perlu dilakukan untuk menghentikan tuduhan terhadap anak-anak. Dalam hal ini, tenaga-tenaga kesehatan, guru dan pimpinan sekolah atau pastoral bisa memainkan peran penting dan aktif dalam melibatkan, mendidik, dan menjauhkan masyarakat kebiasaan menggunakan sihir sebagai pembenaran atas penyakit, kematian, dan kecelakaan.
Ada tren menakutkan terkait meningkatnya tuduhan ilmu sihir terhadap anak di banyak negara Afrika yang seharusnya dilihat sebagai peringatan yang serius bagi PNG dalam memastikan bahwa narasi yang berbahaya tentang anak-anak sebagai pengguna ilmu gaib harus segera diberhentikan. Komunitas pendidik, pemerintah, dan pemimpin agama di PNG memiliki peran penting untuk membenarkan narasi palsu tentang sihir dan mencegah penyiksaan dan kematian anak-anak PNG. (Devpolicy Blog/ Development Policy Centre)
Miranda Forsyth adalah seorang peneliti di School of Regulation and Global Governance (RegNet), Australian National University.
Editor: Kristianto Galuwo