Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Setelah izin-izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, khususnya di Distrik Konda, Teminabuan, Moswaren, Saifi dan Seremuk, Mei 2021, oleh Bupati Sorsel, masyarakat adat meminta agar lokasi bekas perusahaan tersebut dikembalikan kepada mereka untuk dikelola sendiri.
Hal itu dilakukan karena masyarakat adat pemilik ulayat ingin mengelola dan memanfaatkan lahan, serta hasil hutan di wilayah adatnya berdasarkan kearifan lokal masyarakat setempat.
Tokoh perempuan adat dari Distrik Konda, Sopice Sawor dalam Dialog Kebijakan Bersama Pengambil Kebijakan di Sorong Selatan, 8 – 9 November 2021 yang digelar Yayasan Pusaka, Relawan Pemuda Tolak Sawit dan Peduli Lingkungan Sosial mengatakan, masyarakat adat sub suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda sudah membuat peta tanah dan hutan adat, serta peta tempat-tempat penting.
Baca juga: Masyarakat adat Keerom: Hutan habis untuk sawit, tapi kami tidak menikmati
“Kami minta pemerintah akui dan lindungi hak masyarakat adat,” ujar Sawor seperti dalam press rilis yang diterima Jubi di Jayapura, Selasa (16/11/2021).
Dialog bertema “Kebijakan Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat” itu dihadiri perwakilan masyarakat adat dari Distrik Saifi, Seremuk, Teminabuan, Wayer, Moswaren, Konda, Kais, Kais Darat dan Inanwatan, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong Selatan, DPMA Knasaimos, DAP Sorong Selatan, LPHD Sira – Mangroholo, LMA Sorong, AMAN Sorong Raya, Samdhana Institute, Greenpeace Indonesia, Bentara Papua, ECONUSA, PBHKP, PMKRI, GMKI, GAMKI, GMNI dan relawan pemuda.
Direktur Yayasan Pusaka, Franky Samperante mengatakan, sejumlah pihak dalam diskusi tersebut menuntut agar substansi pengaturan mencakup dan memuat hak-hak masyarakat adat, antara lain, hak untuk menguasai dan memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah adat, hutan, dan kekayaan alam lainnya, hak menyelenggarakan kelembagaan adat, hukum adat dan peradilan adat, hak untuk melindungi dan melestarikan adat istiadat, bahasa, pendidikan adat, tempat sakral dan kepercayaan, hak untuk menentukan pembangunan, hak bebas untuk dipilih sebagai wakil rakyat, menentukan dan memilih wakil rakyat, hak perempuan adat, hak untuk mendapatkan dan melakukan perlindungan lingkungan yang sehat, hak mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak-hak masyarakat adat, hak masyarakat adat untuk bebas berkumpul dan berpendapat.
Baca juga: Perusahaan sawit di Nabire diingatkan tak ingkari MoU dengan Suku Yerisiam
“Kebijakan pengakuan, perlindungan dan penghormatan keberadaan dan hak hak masyarakat adat merupakan hak konstitusional masyarakat adat, yang harus dipenuhi negara,” kata Franky.
Pasalnya Bapemperda DPRD Sorong Selatan menetapkan ranperda pengakuan dan perlidungan hak masyarakat adat sebagai salah satu program legislasi pada tahun 2021.
Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Sorong Selatan, Theodorus H. Thesia mengatakan, DPRD Kabupaten Sorong Selatan telah melakukan sidang pleno untuk mendiskusikan rancangan perda tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Sorong Selatan.
“Namun masih diperlukan pembobotan dan masukan materi rancangan perda,” kata Thesia.
Baca juga: Papua Barat, satu satunya provinsi yang menyelesaikan evaluasi perizinan sawit
Ranperda tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat merupakan inisiatif DPRD Sorong Selatan. DPRD akan mengusahakan agar perda ini segera ditetapkan, disosialisasikan, dan diundangkan dalam lembaran daerah di Sorong Selatan.
“Kami usahakan ranperda ini dipastikan Desember 2021 ini, DPRD sedang menyusun tahapan proses pembahasan dan akan dipaketkan dengan APBD induk untuk mempercepat pembahasan,” kata Ketua Bapemperda, Agustinus M. Way.
Nicodemus Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, inisiatif DPRD ini merupakan sesuatu yang membahagiakan dan menjawab harapan masyarakat.
“Greenpeace akan selalu bersama mitra pembangunan akan mem-back up dan menyurati DPRD dan sebagainya, akan siap back up, surat yang disampaikan DPRD kepada mitra pembangunan, bagian penting dari diskusi itu. Kita akan berdiskusi untuk pembobotan, termasuk juga naskah akademik dan legal drafting,” kata Nicodemus. (*)
Editor: Jean Bisay