Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15557

Diplomasi noken kosong ala Jokowi untuk siapa?

$
0
0

Papua-Presiden Jokowi

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh: Benny Mawel

Kantor berita Antara (16/11/2021) menulis diplomasi noken Presiden Jokowi – Menlu Selandia Baru soal Papua. Jokowi berdiplomasi dengan menyerahkan noken Papua kepada Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta, ketika mengunjungi Istana Merdeka, Jakarta, Senin (15/11/2021). Noken dalam foto tampak ramping. Artinya noken tidak berisi atau kosong.

Usai memberikan noken, Jokowi menyajikan data fokus pemerintahannya membangun Papua kepada Menlu Nanaia Mahuta. Jokowi mengatakan dirinya fokus membangun infrastruktur di Papua agar Papua terkoneksi dengan bagian lain Indonesia. Harapannya, “rakyat Papua menikmati kemakmuran.”

Siapa yang Jokowi maksud rakyat Papua ini? Apakah rakyat asli Papua atau penduduk di Papua? Apakah benar infrastruktur di Papua membuat rakyat asli Papua menikmati kemakmuran?

Kondisi infrastruktur di Papua

Untuk harapan rakyat Papua menikmati kemakmuran, menurut Jokowi, pemerintahannya membangun jalan trans-Papua sepanjang 3.422 kilometer, jalan perbatasan Papua sepanjang 1.098 kilometer, dan Jembatan Youtefa sepanjang 1,3 kilometer.

Jembatan Youtefa yang Jokowi maksud berada di kota Jayapura. Jembatan ini menghubungkan Hamadi, Distrik Jayapura Selatan ke Distrik Muara Tami. Jembatan ini juga menjadi jalan utama Kota Jayapura ke Wutung, Perbatasan Papua Nugini dan Kabupaten Keerom, hingga terhubung ke jalan trans Jayapura – Wamena, Jayawijaya. Jalan trans Jayapura-Wamena-Jayapura melalui Kabupaten Keerom, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yalimo. Setelah ke Wamena, dari Wamena bisa diakses ke Kabupaten Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Tolikara, Puncak, Puncak Jaya dan Nduga.

Pemerintah juga berusaha membangun jalan antardistrik di kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua. Rakyat Papua yang berada di distrik yang beruntung bisa mengakses jalan, tetapi kondisi jalan antara kabupaten dan distrik terjauh tidak sama.

Jalan dari Kota Jayapura ke Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayapura ke Keerom aspal mulus, tetapi jalan dari kota Jayapura ke Wamena melalui Keerom berdebu dan tidak beraspal. Kondisinya sangat memprihatinkan.

Kondisi yang sama terlihat jalan-jalan dari ibu kota kabupaten ke distrik-distrik terjauh, kantong penduduk orang asli Papua kurang mendapat perhatian daripada jalan dalam kota dan distrik wilayah trans di kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Keerom.

Transportasi dan mobilisasi

Pembangunan jalan itu mempermudah rakyat di kampung-kampung ke kota. Pun sebaliknya. Orang-orang kota dengan mudah ke kampung-kampung.

Orang-orang dari distrik terjauh tidak lagi berjalan kaki ke kota dengan menghabiskan waktu 1-5 jam, tetapi cukup 15-30 menit dengan kendaraan. Orang kota bisa mengakses ke kampung, bisa mendagangkan barang dagangan ke orang Papua di depan rumah.

Mobilisasi orang kota ke kampung dan kampung ke kota menjadi lancar atau tidak tergantung pada kondisi jalan dan sarana transportasi, baik kendaraan milik pribadi, maupun angkutan umum.

Kebanyakan orang asli Papua yang berada di kampung-kampung tidak memiliki kendaraan pribadi. Kondisi ini menjadi peluang ekonomi bagi pemilik modal untuk menyediakan jasa transportasi. Atau keuntungan lebih bagi mereka yang memiliki kendaraan untuk memanfaat konektivitas yang ada.

Kelompok tertentu, penduduk kota dengan dukungan modal dan perbankan memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat untuk keperluan membawa hasil kebunnya, dan menyediakan jasa transportasi. Pemilik modal menyediakan jasa angkutan dari kota ke wilayah distrik terjauh, angkutan lintas kabupaten. Angkutan dari kota Jayapura ke Keerom, Yalimo, Wamena dan sebaliknya. Dari Wamena ke Yalimo, Jayapura, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Tolikara dan Nduga.

Orang asli Papua berhadapan dengan pilihan mahal. Orang asli Papua harus membayar Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta per orang bila ke Wamena dari Jayapura. Jika duduk di dalam (ada kursi), maka akan dikenakan tariff Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta jika duduk di luar (bak) kendaraan jenis triton/hilux.

Orang asli Papua yang berada di Distrik Yapsi, wilayah pedalaman Kabupaten Jayapura harus membayar Rp 100 ribu jika ke Jayapura, sebaliknya kembali ke Japsi Rp 100 ribu. Sekali ke kota, mengeluarkan 200 ribu untuk transportasi.

Dengan demikian, seorang sopir mobil rush 7 penumpang dari Sentani, ibu kota Jayapura ke Yapsi (Lereh) sekali jalan 7 mendapat Rp 700 ribu dan Rp 1,4 juta jika PP (pergi-pulang).

Dalam sebulan (kecuali Sabtu dan Minggu karena libur), pergi pulang penumpang normal, sopir bisa mengantongi sekitar Rp 39 juta (misalkan Rp 1,4 juta dikali 26 hari). Tinggal dikalikan saja, sopir bisa mendapatkan ratusan juta setiap tahun. Dia bisa membangun istana dan memiliki tabungan dalam kurun waktu 5-10 tahun.

 Kebutuhan Jakarta membangun infrastruktur di Papua

Konektivitas darat tidak sekadar membuka isolasi wilayah, yang menguntungkan kaum pemilik modal atas nama rakyat Papua. Pemerintah pusat mempunyai kepentingan dan kebutuhan membangun konektivitas di Papua.

Kita bisa membuat pengelompokan kepentingan ekonomi (tidak termasuk kepentingan politik) pemerintah pusat di Jakarta membangun infrastruktur di Papua.

Pertama, pemerintah membuka jalur transportasi darat dari satu daerah ke daerah lain, tetapi lebih dari itu adalah upaya pemerintah menghubungkan satu pusat pembangunan ekonomi ke pusat pembangunan ekonomi yang lain.

Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua terhubung ke Wamena, pusat pembangunan ekonomi di wilayah Pegunungan Tengah (Lapago). Juga wilayah adat lain: pusat kabupaten ke distrik-distrik, hingga ke kampung-kampung.

Kedua, konektivitas darat yang menjadi jalur ekspansi ekonomi dari wilayah produser ke wilayah konsumen. Pengiriman barang produksi dari luar Papua sampai di kota Jayapura semakin lancar ke pedalaman, distrik-distrik, kantong-kantong konsumen, penduduk orang asli Papua. Seorang pedagang sampai di kampung-kampung.

Ketiga, konektivitas darat membuka peluang merajalelanya penyelundupan obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol ke wilayah-wilayah penduduk asli. Jumlah konsumen dan penggunaan minuman beralkohol, tidak dipungkiri makin bertambah, dari kota hingga ke kampung-kampung (baca penangkapan dan penyitaan ribuan botol minuman beralkohol di jalan Wamena-jayapura).

Keempat, pemerintah terus membuka peluang ekonomi bagi orang-orang migran di Papua. Konektivitas yang ada menjadi peluang bisnis jasa transportasi. Pemilik modal atau mereka yang punya akses ke perbankan menyediakan jasa transportasi bagi orang Papua yang ada di kampung-kampung.

“Kelompok pendatang yang memang lebih banyak bekerja sebagai pedagang dan pengusaha angkutan, melihat kesempatan peningkatan konektivitas untuk memperluas pasar mereka, baik sebagai pedagang kayu, angkutan maupun pedagang kebutuhan pokok.” (Cypri Dale: 2012).

Kondisi ini memperlebar jurang kemiskinan antara Papua dan non-Papua, sehingga harapan menjembatani kesenjangan ekonomi antarrakyat di Papua tidak terwujud banyak. Orang-orang tertentu, orang asli Papua dan kebanyakan orang migran yang mencapai kemakmuran dengan mengakses pembangunan infrastruktur yang dibangun atas nama orang asli Papua.

Orang asli Papua hanya menjadi konsumen dan penonton kelompok tertentu itu yang terus memperluas usahanya, membangun istana, menikmati kemakmuran dan kebahagiaan. Pertanyaannya diplomasi nokoen kosong ala Jokowi untuk siapa, untuk orang asli Papua atau kaum migran dan pemodal? Apakah itu yang Jokowi sebut rakyat Papua menikmati kemakmuran? (*)

Penulis adalah jurnalis Jubi

Editor: Timoteus Marten


Viewing all articles
Browse latest Browse all 15557

Trending Articles