Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15440

Hari-hari kelam di Honiara terjadi lagi

$
0
0

Hari-hari kelam di Honiara terjadi lagi 6 i Papua

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Mihai Sora

Saat ini Kepulauan Solomon sedang menghadapi dampak dari ketakpuasan yang mendalam dan kekuatan yang berlawanan.

Ketenangan yang mencekam menyelimuti ibu kota Kepulauan Solomon, Honiara, setelah aksi protes pecah di luar gedung parlemen nasional negara itu Rabu lalu, 24 November. Awalnya massa mendesak pengunduran diri Perdana Menteri Manasseh Sogavare, namun aksi itu lalu berubah menjadi huru-hara. Dimulai dengan pembakaran sebuah bangunan di dalam kompleks parlemen dan kantor polisi, lalu, menurut laporan, terjadi penjarahan dan pengrusakan properti sementara massa bergerak ke arah Distrik Kukum di Honiara. Polisi lalu mendirikan pos-pos pemeriksaan di sekitar kota sambil menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa. Untungnya sekolah-sekolah di ibu kota itu sudah ditutup lebih awal sebagai tindakan pencegahan keamanan sebelum protes itu terjadi.

Sebagian besar pengunjuk rasa berasal dari Malaita, provinsi terpadat di negara itu. Mereka dikatakan telah menempuh perjalanan ke ibu kota di Guadalcanal untuk terlibat dalam aksi protes yang terorganisasi terhadap Perdana Menteri, pemerintah nasional, dan anggota-anggota parlemen dari Malaita, karena kurangnya pembangunan di provinsi  asal.

Kerusuhan di Honiara ini telah menunjukkan besarnya pengaruh politik satu provinsi itu terhadap stabilitas nasional dan kohesi sosial di seluruh Kepulauan Solomon. Premier Provinsi Malaita, Daniel Suidani, sedang berada di bawah tekanan politik yang berkepanjangan dari sejumlah anggota parlemen di tingkat provinsi. Pada Oktober lalu Suidani dihadapkan dengan mosi tidak percaya, beberapa pihak yakin bahwa mosi itu telah diatur oleh pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan ribuan orang protes di ibu kota Malaita, Auki, dan berkumpul di luar parlemen provinsi, mendesak agar mosi tersebut dibatalkan. “Pemerintah ini adalah pemerintahan dari masyarakat, jadi jika pemerintah pusat tidak bisa mendengarkan kami, maka kami akan bangkit dan melawan,” tegas seorang pengunjuk rasa di Auki saat itu.

Pembangunan ekonomi yang dianggap tidak merata di seluruh negeri, dan secara khusus relatif minimnya pembangunan di Malaita dibandingkan dengan Guadalcanal, di mana ibu kota Honiara berada, merupakan masalah lama yang secara luas dianggap sebagai akar dari konflik internal Kepulauan Solomon selama periode 1998 hingga 2003. Masa itu adalah periode dimana konflik dan kekerasan yang berkepanjangan menyebabkan negara itu kolaps dan mengarah pada pembentukan Misi Bantuan Regional ke Kepulauan Solomon (RAMSI). RAMSI lalu beroperasi dari 2003 sampai 2017, dan terdiri dari anggota militer, polisi, dan warga sipil dari Australia, Selandia Baru, serta 15 negara Kepulauan Pasifik lainnya.

Meski Suidani sendiri tidak hadir dalam protes di Honiara ini, dia menerangkan kepada media bahwa protes tersebut adalah buah dari keengganan pemerintah nasional yang tidak mendengarkan keinginan masyarakat dalam hal-hal seperti proyek infrastruktur dan peralihan pengakuan diplomatik tahun 2019 dari Taiwan ke Tiongkok.

Kerusuhan pada hari Rabu ini merupakan tanda eskalasi konflik yang sedang berlangsung antara  pemerintah Malaita dan pemerintah pusat. Selama ini, perbedaan pendapat antara kedua pihak ini umumnya ditunjukkan dengan perdebatan antara Suidani dengan Sogavare di hadapan publik atas keputusan Sogavare untuk beralih ke Tiongkok. Premier Suidani sangat kritis terhadap keputusan tersebut, dan sejak keputusan itu diumumkan ia masih mempertahankan hubungan antara Provinsi Malaita dengan Taiwan, keputusan yang tidak nyaman bagi pemerintahan nasional dan sub nasional.

Keputusan Suidani untuk mempertahankan dukungannya bagi Taiwan itu didukung oleh sebuah gerakan politik yang ingin memisahkan Malaita dari negara itu selama puluhan tahun lamanya. Keputusan pusat itu tampaknya sesuai dengan pandangan mereka bahwa pemerintah pusat sudah tidak lagi paham akan provinsi itu dan minimnya pembangunan ekonomi untuk Malaita.

Taiwan dengan cepat membalas dukungan Malaita, dan masih terus memberikan bantuan pembangunan ke provinsi tersebut – sesuatu yang bertentangan dengan instruksi pemerintah pusat. Dengan melakukan hal ini, Taiwan juga turut menyebabkan keretakan antara keduanya dengan berpihak pada Premier dalam mengecam sang PM.

Sementara itu pada Oktober 2020, Washington juga mengalokasikan paket bantuan langsung bernilai AS$25 Juta ke pemerintah Malaita, 50 kali lipat dari jumlah bantuan yang biasanya diperoleh provinsi itu dalam setahun dari semua donor. Ini dianggap sebagai imbalan AS kepada salah satu dari sekelompok kecil pihak  pro-Taiwan yang kian menurun jumlahnya  di Pasifik – terlepas bahwa itu adalah provinsi dari negara yang  pro-Tiongkok.

Persaingan geopolitik antara Taiwan/AS dan Tiongkok tidak memicu kerusuhan di Honiara. Tetapi hal-hal yang  dilakukan oleh negara-negara besar untuk mengumpulkan dukungan dari pihak-pihak lokal – tanpa berhenti untuk mempertimbangkan keadaan sosial dan politik yang lebih dalam di dalam negara negara – memiliki dampak untuk destabilisasi kohesi sosial di negara-negara yang rentan seperti Kepulauan Solomon, negara yang telah berusaha mati-matian untuk mempertahankan perdamaian yang mereka raih dengan susah payah. setelah kerusuhan sipil selama bertahun-tahun. Kerusuhan ini pasti akan membangkitkan kenangan publik tentang kerusuhan Honiara 2006, di mana puluhan usaha di Chinatown dijarah dan dibakar setelah Snyder Rini terpilih sebagai perdana menteri dengan dugaan dukungan dana dari Taiwan.

Keresahan masyarakat atas penerapan keadaan darurat terkait Covid-19 juga memicu masalah baru, ditambah lagi dengan jaruhnya perekonomian selama ini akibat sistem politik nasional yang diliputi oleh korupsi dan kronisme. Secara demografi, bonus demografi di negara itu (tujuh dari 10 orang disana berusia di bawah 30 tahun) disertai dengan tingkat pengangguran yang tinggi adalah kondisi yang optimal dalam memicu kerusuhan.

Kepolisian Kepulauan Solomon (RSIPF) telah menanggapi dengan sigap dan sesuai dengan keadaan setempat. Tetapi banyaknya keluhan orang terkait perbedaan etnis akan sangat menghambat negara yang sangat sensitif dan yang masih mencoba mencari cara, secara nasional, untuk bersatu dan meninggalkan warisan konflik sebelumnya yang berkepanjangan. Hal ini sulit untuk dilakukan karena faktor-faktor pendorong fundamental yang  memicu konflik itu masih ada sampai sekarang.

Dalam pidato nasional pada Rabu malam, PM Sogavare menerangkan, “Sejujurnya, saya pikir bahwa kita telah melewati hari-hari kelam kita, hari ini telah menunjukkan bahwa masih ada jalan yang panjang ke depannya.”

Kepulauan Solomon sudah memikul beban yang berat. Beban yang disebabkan oleh kerusuhan ini akan semakin mempersulit mereka. (The Interpreter)

Mihai Sora adalah seorang peneliti untuk Pacific Islands Program dan Direktur Proyek Aus-PNG Network.

Editor: Kristianto Galuwo

Viewing all articles
Browse latest Browse all 15440

Trending Articles