Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15260

Status Hukum LMA Bukan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

$
0
0
Warinusi=pengacara-Jubi/ist
Warinusi=pengacara-Jubi/ist

Jayapura, Jubi- Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua/Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy mengatakan,  menurut pertimbangan MK bahwa tidak terbukti adanya suatuta pranata pemerintahan adat, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa terdapat harta kekayaan dan/atau benda-benda adat di organisasi tersebut (Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Provinsi Papua).

Yan Christian Warinussy  menyatakan, berdasarkan pembuktian yang terjadi dalam persidangan perkara tersebut, MK mempertimbangkan bahwa tidak ada alat bukti yang menunjukkan apabila organisasi (LMA Provinsi Papua) adalah suatu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memenuhi unsur-unsur bahwa terdapat masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling).

“Selain itu juga tidak adanya perangkat norma hukum adat yang diatur dan ditetapkan di dalam organisasi yang dipimpin oleh para pemohon tersebut, terlebih lagi tidak adanya suatu alat bukti yang menunjukkan adanya suatu wilayah tertentu yang menandai sifat teritorial dari organisasi yang dipimpin oleh para pemohon tersebut.” kata Warinusi.

Dikatakan dengan demikian maka menurut MK, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang tersebut (UU No 21 Tahun 2001) terhadap UUD 1945.

Warinusi mengatakan, berkenaan dengan status hukum seperti itu menurut putusan MK, maka dari sisi praktek hukum ketatatnegaraan di Indonesia, termasuk di Tanah Papua, juga di Provinsi Papua Barat, sebaiknya LMA tersebut tidak boleh ikut serta sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam proses-proses pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) maupun seleksi anggota DPR Papua dan Papua Barat dari jalur pengangkatan berdasarkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Samuel Harun Yansenem menyatakan, belum lama ini, pada 21 Januari 2015, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan sebuah putusannya dalam perkara Nomor : 121/PUU-XII/2014 terkait Pengujian Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomo Khusus Bagi provinsi Papua menjadi Undang-Undang.

“Namun demikian terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan soal pokok permohonan Lenis Kogoya dan Paskalis Netep dari LMA Provinsi Papua tersebut, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan soal kewenangangnnya dalam mengadili serta soal legal standing atau kedudukan hukum para pemohon tersebut,” kata Samuel Harun.

Kata Samuel Mengenai soal permohonan a quo adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Undang Undang in casu UU No.21 Tahun 2001 terhadap UUD 1945, sehingga MK berwenang untuk mengadili permohonan  a quo.

Selanjutnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) para pemohon, MK merujuk pada pasal 51 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu UU terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU yang dimohonkan pengujian, yaitu : a.perorangan warga negara Indonesia termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), b.kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih  hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur di dalam UU, c.badan hukum publik atau privat; atau d.lembaga negara.(*)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 15260

Trending Articles