Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15206

Rio Tinto dituduh langgar HAM di Bougainville

$
0
0

Theonila Roka Matbob, seorang guru dan pemilik tanah adat di Sesa Makosi di hilir Panguna. – The Guardian/ Human Rights Law Centre

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Buka, Jubi – Perusahaan tambang raksasa Inggris-Australia, Rio Tinto, dituduh bertanggung jawab atas pelanggaran HAM setelah tambangnya di Panguna di Pulau Bougainville, menyisakan masyarakat lokal dengan peninggalan yang beracun termasuk polusi air, lahan, dan menghancurkan lembah-lembah sungai, menurut sebuah laporan dari Human Rights Law Centre.

HRLC berkata perusahaan tambang tersebut berkewajiban untuk kembali ke pulau itu, yang baru saja memilih untuk merdeka dari Papua Nugini, untuk reparasi dan rekonsiliasi.

Selama 17 tahun, hingga 1989, tambang Panguna adalah salah satu tambang tembaga dan emas terbesar dan terkaya di dunia, dioperasikan oleh anak perusahaan Rio Tinto, Bougainville Copper Limited. Aktivitas tambang di Panguna berakhir 31 tahun yang lalu, setelah konflik tentang keuntungan tambang itu dan kerusakan lingkungan menyebabkan perang saudara selama satu dekade di Bougainville, menewaskan hampir 20.000 orang. Tapi lubang tambang itu masih membekas di lanskap di tengah pulau Bougainville dan telah meninggalkan warisan yang mematikan bagi masyarakat lokal.

Menurut laporan HRLC: “Air yang tercemar dari lubang tambang mengalir ke sungai-sungai, mengubah warna dasar sungai dan bebatuan di sekitarnya menjadi biru. Lembah Jaba-Kawerong di bawah tambang itu menyerupai permukaan bulan, dengan gundukan besar limbah tailing dan batu-batu berwarna keabu-abuan yang membentang hampir 40 km hingga ke pinggiran pantai.”

Laporan itu disusun dengan mewawancarai 60 penduduk setempat di daerah hilir Panguna dan juga 300 wawancara yang dilakukan sebagai bagian dari proyek penelitian Keuskupan Katolik Bougainville.

Warga yang tinggal di lembah-lembah sungai juga melaporkan dampak kesehatan jangka panjang, termasuk diare, gangguan pernapasan, dan komplikasi kehamilan.

“Tambang Panguna menghancurkan masyarakat kami, secara fisik dan budaya, dan kami masih hidup dengan konsekuensinya,” kata Theonila Roka Matbob, seorang guru dan pemilik tanah adat di Sesa Makosi, juga di hilir Panguna. “Tanah kami tidak subur dan sungai-sungai kami diracuni. Anak-anak kami minum dan mandi di air yang tercemar dan sakit. Kami perlu Rio Tinto untuk kembali dan menyelesaikan masalah ini.”

Sementara itu, seorang juru bicara Rio Tinto berkata: “BCL selalu mematuhi peraturan yang berlaku sampai operasi tambang itu dihentikan pada 1989.” Sejak meninggalkan tambang itu pada 1990, Rio Tinto belum bisa kembali ke lokasi tambang karena konflik bersaudara dan masalah keamanan. (The Guardian)

 

 

Editor: Kristianto Galuwo


Viewing all articles
Browse latest Browse all 15206

Trending Articles