Quantcast
Channel: Jubi Papua
Viewing all articles
Browse latest Browse all 15075

AMP dan FRI-WP peringati 1 Juli dengan aksi damai di Makassar dan Malang

$
0
0
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua atau FRI-WP Makassar menggelar aksi di Kota Makasar, Sulawesi Selatan, pada Rabu (1/7/2020), untuk memeringati 1 Juli yang merupakan hari deklarasi Organisasi Papua Merdeka. Aksi serupa juga digelar Aliansi Mahasiswa Papua atau AMP dan FRI-WP Kota Malang, Jawa Timur. Dalam aksinya, AMP dan FRI-WP menuntut pemerintah memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua. Koordinator aksi AMP Makassar, Andy Tekege mengatakan massa aksi AMP dan FRI-WP di Makassar pada Rabu sore sempat diadang aparat keamanan saat sedang melakukan long march menuju Fly Over Makassar. Menurutnya, sejumlah intel meminta massa aksi membubarkan diri, karena aksi itu dinilai melanggar protokol kesehatan Covid-19. Padahal, demikian menurut Tekege, para peserta aksi sudah mengenakan masker dan menjaga jarak antarorang. Aksi AMP dan FPI-WP itu sempat bentrok dengan massa organisasi kemasyarakatan Pemuda Pancasila yang meneriakkan yel-yel NKRI harga mati. Para koordinator aksi meminta diberi waktu untuk membacakan pernyataan sikap mereka, namun permintaan itu ditolak polisi. Para peserta aksi AMP dan FRI-WP lantas diangkut mobil polisi, dengan alasan menghindari bentrokan dengan massa Pemuda Pancasila. Mereka akhirnya diturunkan dan dilepas polisi di dekat Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Baca juga: Tak ada yang berhak melarang tujuh Tapol kembali ke Papua Dalam keterangan persnya, Andy Tekege menyatakan aksi AMP dan FRI-WP dilakukan untuk memperingati pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa West Papua 1 Juli 1971. Naskah prokolasi itu dibacakan saat Organisasi Papua Merdeka (OPM) mendeklarasikan diri, dan menyatakan menolak hak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Tekege mengatakan rakyat Papua tetap menuntut hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan menegaskan tuntutan itu sejalan dengan Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan 'kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan'. AMP dan FRI-WP menilai proses integrasi Papua ke dalam Indonesia bermasalah, karena didasarkan berbagai perjanjian internasional yang tidak pernah melibatkan rakyat Papua, seperti New York Agreement 15 Agustus 1962. AMP dan FRI-WP juga menyatakan penyerahan penguasaan West Papua dari United Nation Temporary Executive of Authority (UNTEA) kepada Pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963 dilakukan tanpa persetujuan rakyat Papua. Selain itu, pelaksanaan Pepera 1969 dinyatakan tidak sah, karena hanya diikuti sekelompok orang yang ditunjuk pemerintah Indonesia. "Perserikatan Bangsa Bangsa cenderung lebih mempercayai laporan pemerintah Indonesia yang memiliki kepentingan untuk memenangkan Pepera 1969 melalui 'musyawarah', dan bukan dengan cara 'one man one vote' yang disyaratkan ketentuan internasional," kata Tekege. Baca juga: MRP minta Jakarta bawa evaluasi Otsus Papua ke mekanisme legal Pasca Pepera, pemerintah Indonesia terus menambah tentara di Papua, membuat perlawanan rakyat Papua menghebat. Hingga akhirnya Organisasi Papua Merdeka-Tentara Pembebasan Nasional dideklarasikan pada 1 Juli 1971. "Proklamasi tersebut dilakukan atas rentetan pendudukan Indonesia dengan semangat menjajah [dan] mengeruk sumber daya alam di Papua Barat," kata Tekege. Ketua AMP Makassar, Mark Pahabol mengatakan AMP dan FRI-WP menuntut pemerintah Indonesia mengakui keberadaan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan Organisasi Papua Merdeka. Mereka juga menuntut pemerintah menarik personil militer dari Tanah Papua. "Segera tarik militer organik dan non-organik dari seluruh tanah air bangsa Papua Barat. Hentikan dan tutup seluruh aktivitas eksploitasi sumber daya alam di Papua Barat yang dilakukan perusahaan multi nasional seperti Freeport, BP, Korindo, dan lain-lain," kata Pahabol. AMP dan FRI-WP juga menuntut pemerintah Indonesia membuka akses bagi jurnalis lokal, nasional, maupun internasional untuk meliput dengan bebas di Tanah Papua. "Segera berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat," kata Pahabol. Baca juga: Isu Dialog Papua jangan ditumpangi kepentingan evaluasi Otsus Papua Aksi serupa juga dilakukan AMP dan FRI-WP di Kota Malang pada Rabu. Para peserta aksi di Malang menyampaikan tuntutan serupa dengan massa aksi AMP dan FRI-WP di Makassar. Koordinator lapangan aksi AMP dan FRI-WP di Malang, Musa Pekei melalui siaran persnya menyatakan massanya sempat terlibat aksi saling dorong dengan polisi yang berjaga. “Massa aksi yang terdiri sekitar 84 orang tiba di titik aksi pukul 10:38 WIB. Korlap mengarahkan massa untuk mengambil barisan, namun malah terjadi aksi saling dorong antara pihak keamanan,” kata Pekei. Pekei ingin membawa massa aksi menuju Balai Kota Malang, namun diadang polisi polisi. “Saat itu polisi dan polwan yang berada di lokasi aksi berjumlah 100 orang lebih, dan terlihat ada 3 orang TNI. Pihak keamanan memblokade Jalan Jenderal Basuki Rahmat, Jalan Semeru dan Jalan Kahuripan, agar masyarakat tidak melewati jalan tempat aksi itu,” kata Pekei. Pekei mengatakan, tanpa basa basi. Ia, langsung melakukan orasi mulai pukul 10:45 WIB diikuti oleh orator-orator lainnya hingga pukul 11:23 WIB. Saat itu pihak keamanan duduk didepan massa aksi. Pekei menyatakan aksi itu ditutup dengan pembacaan teks proklamasi West Papua. “Setelah itu, [peserta] aksi diberi kesempatan berorasi oleh koordinator aksi, hingga akhirnya kami membubarkan diri," kata Pekei.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G

Viewing all articles
Browse latest Browse all 15075

Trending Articles