Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua dan pendiri serta anggota Dewan Gereja Papua, Pdt Dr Socrates S Yoman menyatakan implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah mati. Hal itu terlihat dari kegagalan undang-undang itu mencegah kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua.
"Kami sebagai orang asli Papua bilang, Otsus [Papua] sudah gagal. Kami sebagai gereja, sebagai pemegang suara mandat umat Tuhan, mereka berikan kepercayaan [kepada kami untuk] menyampaikan Otsus [sudah] gagal. Kami dari Dewan Gereja [Papua] berkesimpulan bahwa Otsus itu mati," kata Yoman kepada Jubi, Sabtu, (18/7/2020).
Yoman menilai selama Otsus Papua dikerdilkan hanya sebagai pembangunan infrastruktur berupa jalan atau gedung. Padahal semua pihak harus memahami bahwa Otsus Papua lahir sebagai hasil negosiasi politik antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua yang menuntut hak penentuan nasib sendiri melalui referendum.
"Jadi, Jakarta tidak bisa merendahkan itu. Pembangunan itu merupakan tanggung jawab negara. Pemerintah membangun infrastruktur, atau memperbaiki [pelayanan] kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat Papua, itu tanggung jawab negara untuk melaksanakannya. Jadi, tidak bisa dicampur-aduk [dengan] tuntutan politik [rakyat Papua]," papar Yoman.
Baca juga: Tolak Otsus Jilid 2: Rakyat Papua menuntut janji keadilan dan referendum
Ia menyatakan Otsus Papua merupakan hasil "win-win solution" atas aspirasi politik rakyat Papua yang meminta merdeka dan kepentingan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari wilayahnya. Itulah mengapa di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua (UU Otsus Papua) ada pengaturan tentang perlindungan, pemberdayaan, dan kebijakan afirmasi terhadap orang asli Papua.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, berbagai khususan yang diatur UU Otsus Papua tidak berjalan. UU Otsus Papua bahkan gagal menghentikan siklus kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua. Yoman menegaskan perlindungan terhadap orang asli Papua adalah ukuran utama keberhasilan Otsus Papua, namun para pelaku dalam berbagai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa Otsus tetap kebal hukum.
"Pelaku kekerasan itu tidak disentuh. Ada kekebalan hukum di sini, mereka tidak pernah ditangkap, dan mereka dilindungi. Kami Dewan Gereja menilai Otsus [Papua] sudah mati. Orang yang menghilangkan sopir almarhum Theys mana? [Ada] empat siswa [ditembak] di Paniai [pada 2014], tanggung jawab negara di mana? Jadi, kami simpulkan Otsus Papua itu mati. Otsus seharusnya harus melindungi manusia [Papua untuk] bebas menikmati pendidikan, kesehatan dan perbaikan ekonomi," katanya.
Baca juga: Kondisi pendidikan di Tanah Papua era Otsus tak sesuai harapan
Yoman berpendapat salah satu sumber kegagalan Otsus Papua adalah praktik diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua. Diskriminasi itu membuat aparatur negara tidak akan bersikap adil terhadap orang asli Papua, dan membuat mereka terus melakukan kekerasan terhadap orang asli Papua.
"Hari ini Jakarta sendiri melanggar UU [yang dibuatnya] sendiri. Pasal 77 UU Otsus Papua menyatakan Otsus harus dievaluasi oleh Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, dan rakyat Papua. Tetapi, pemerintah pusat [jalan sendiri] mengevaluasi [Otsus Papua]. Itu kesalahan fatal, dan merupakan kejahatan negara [atas] undang-undangnya [sendiri]," ujar Yoman.
Eks tahanan politik (tapol) Papua dalam kasus unjuk rasa anti rasisme Papua, Abrosius Mulait mengatakan elit politik di Papua dan Jakarta harus berhenti memaksakan kehendak mereka terhadap rakyat Papua. “Elit Papua, stop intervensi [dengan mendorong] Otsus Jilid 2. Otsus lanjut atau tidak, itu dikembalikan kepada rakyat Papua,” katanya.
Mulait menyatakan semua pihak harus memberi kesempatan bagi rakyat Papua akan menilai apakah Otsus memenuhi hak politik, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan mereka atau tidak. “Itu baru objektif," kata Mulait.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G
↧