
Prof DR Thamrin Tamagola tengah didampingi Abdul Munib Ketua PWI kiri dan Stanley serta Anton kiri dari Dewan Pers-Jubi/dam
Jayapura, Jubi- Indonesia baru saja menyelenggarakan Festival Budaya Melanesia di Indonesia, tepatnya di Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Salah satu alasan adalah terdapat 11 juta penduduk ras Melanesia di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dirjen Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan menyebutkan 80 persen populasi orang Melanesia tinggal di Indonesia.
Persoalannya mengapa baru sekarang Festival Melanesia diselenggarakan, mengapa tidak dari dulu sejak kemerdekaan Republik Indonesia? Pertanyaan ini dilontarkan Pastor Neles Tebay tokoh penggagas Dialog Papua dan Jakarta, dalam Seminar Kemerdekaan Pers di Papua yang dilakukan Dewan Pers di Jayapura, Rabu( 28/10/2015).
Lebih lanjut Tebay menambahkan, apa karena ada pertemuan Melanesian Spearhead Group(MSG) di Honiara sehingga Festival Melanesia Pertama kali dipentaskan di Kupang. “Saya jadi teringat ketika pertama kali diajarkan bahwa saya adalah orang Indonesia asal Provinsi Irian Jaya. Tidak langsung menyebut sebagai orang Papua atau orang Irian. Terus terang pandangan tentang ras budaya masih dipahami sebagai perspektif politik,”katanya saat memberikan tanggapan dalam diskusi yang digagas Dewan Pers.
Hal ini kata mantan wartawan The Jakarta Post kemerdekaan pers dalam ekspresi kebudayaan jangan dipolitisir sebab bisa memakan banyak korban.
Menanggapi pernyataan dan pendapat Pastor Tebay, pakar sosiologis Universitas Indonesia, Prof Dr Thamrin Amal Tamagola menyebutkan Indonesia sebagai konsep politik dan Nusantara sebagai konsep kemajemukan ras dan etnis. “Jadi sebutan orang Batak, orang Papua adalah kemajemukan Nusantara tetapi mereka adalah warga negara Indonesia. Begitu juga orang Melanesia tetapi warga negara Indonesia sebagai nation state atau negara bangsa,”katanya seraya menambahkan ada sebanyak 651 suku bangsa di Indonesia yang menopang negara bangsa Indonesia.
Hanya saja Thamrin Tamagola mengingatkan bahwa upaya penyeragaman pasti akan mengalami hambatan sebab hadirnya suatu suku bangsa adalah peristiwa alamiah.
Karena itu pesan Thamrin Tamagola kalau disebut sebagai orang Batak atau Biak misalnya, pertama harus ada bahasa daerah (Biak atau Batak), kedua adat istiadatnya (siklus kebudayaan dari lahir sampai upacara kematian) masih tetap berlangsung dan ketiga kalau ada upaya penyeragaman sudah pasti akan bertentangan. Pakar pakar sosilologi asal Pulau Halmahera itu mengatakan masih ada “celah” yang bisa dipakai untuk melakukan penyeragaman di Indonesia.(Dominggus Mampioper)