
Ki-ka, Dr. Adriana Elisabeth (LIPI), Mayjend Yudi Swastono (Deputi Bid. Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam) dan Dr. Neles Tebay (JDP) – Jubi/Victor Mambor
Jakarta, Jubi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua (JDP) telah menyelenggarakan pertemuan eksploratif yang ke-7 pada tanggal 17-19 November 2015 di Sentul City, Bogor. Pertemuan eksploratif sebelumnya diselenggarakan di Jimbaran (Bali), Manado, Lombok, Yogyakarta, Semarang dan Jakarta.
“Tujuan pertemuan ke-7 adalah untuk (1) mendiskusikan akar masalah politik, hukum, keamanan dan hak asasi manusia (HAM) di Papua serta membahas masukan-masukan dari peserta dan narasumber dalam rangka mewujudkan Papua Tanah Damai,” ujar Dr. Adriana Elisabeth, peneliti LIPI yang memimpin kajian Road Map Papua “Tujuan pertemuan ke-7 adalah untuk (1) mendiskusikan akar masalah politik, hukum, keamanan dan hak asasi manusia (HAM) di Papua serta membahas masukan-masukan dari peserta dan narasumber dalam rangka mewujudkan Papua Tanah Damai,” ujar Dr. Adriana Elisabeth, peneliti LIPI yang memimpin kajian Road Map Papua kepada Jubi, Kamis (19/11/2015) di Hotel Haris, Sentul City, Bogor.
Selain itu, lanjut Dr. Adriana, pertemuan ini juga mengantisipasi potensi kekerasan politik menjelang pilkada serentak pada 9 Desember 2015.
Ia menjelaskan, pertemuan ke-7 ini dihadiri oleh perwakilan dari Kemenko Polhukam, Kementrian Pertahanan, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Hukum dan HAM, Mabes TNI/TNI AD, Mabes Polri, BIN, LIPI, KPU, Polda Papua, Polda Papua Barat, MRP dan MRPB serta Pemerintah Provinsi Papua, Universitas Cendrawasih, STFT Fajar Timur, Muhammadiyah Papua, ALDP, Imparsial, Barisan Merah Putih, Abdurrahman Wahid Center UI, Kompas, Jubi, dan lain-lain.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Neles Tebay mengatakan pertemuan eksploratif ini telah mendiskusikan hal-hal tentang eksternalisasi atau regionalisasi persoalan konflik Papua di kawasan Asia Pasifik.
“Termasuk penerimaan the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai peninjau dalam forum Melanesia Spearhed Group (MSG) pada Juni 2015. Regionalisasi menguat dengan dibahasnya persoalan pelanggaran HAM Papua dalam Pacific Islands Forum (PIF) di Port Moresby pada tahun 2015, dimana salah satu rekomendasi PIF adalah mengirim tim pencari fakta pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hal ini berarti konflik kekerasan dan pelanggaran HAM masih berlangsung di Tanah Papua,” terang Dr. Neles Tebay.
Selain itu, lanjut Dr. Neles Tebay yang akrab dipanggil Pater Neles ini, dibahas juga rencana pembentukan Kodam di Manokwari, Provinsi Papua Barat dan Markas Brimob di Wamena.
“Ketidakpahaman kebanyakan masyarakat Papua mengenai pembentukan Kodam berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan yang semakin dalam masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia,” ujar Pater Neles.
Baik Dr. Adriana maupun Pater Neles juga menyebutkan pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2015 di 11 kabupaten di Provinsi Papua dan 9 kabupaten di Provinsi Papua Barat rawan konflik karena beberapa wilayah pemungutan suara masih menggunakan sistem noken.
“Di beberapa TPS di Pegunungan Tengah, pilkada akan menggunakan sistem Noken digunakan sesuai dengan tradisi kebudayaan Melanesia. Sesuai dengan Putusan MK No. 47-48 tahun 2009, pemungutan suara dengan sistem Noken adalah sah, namun hal ini memiliki kecenderungan dimanipulasi,” ujar Dr. Adriana.
“Selain itu, pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Yahukimo memiliki tingkat kerawanan karena kesulitan geografis dan rentang jarak yang jauh dari TPS ke ibu kota kabupaten, terutama terkait transportasi kotak suara. Potensi kekerasan lain terkait pilkada serentak adalah bentrok antarpendukung calon di Nabire, Waropen, Keerom, dan Boven Digoel,” tambah Pater Neles.
LIPI dan JDP beserta partisipan yang hadir dalam pertemuan eksploratif ke-7 ini, lanjut keduanya, merumuskan beberapa masukan kepada Pemerintah terkait bidang politik dan keamanan, hukum, dan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.
Beberapa masukan ini dirumuskan dalam tujuh point yang didorong ke pemerintah, yakni : 1) Menyampaikan kepada publik kemajuan hasil investigasi dan kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua; 2) Melakukan sosialisasi tentang urgensi pembentukan Kodam Papua Barat di Manokwari dan penambahan Mako Brimob di Wamena, Papua dalam rangka memperkuat pertahanan dan keamanan negara; 3) Menjamin transparansi dan netralitas penyelenggara pemilu, aparat TNI/Polri, PNS dalam pelaksanaan pilkada serentak di Tanah Papua; 4) Menempatkan diplomat yang memahami isu Papua untuk merespon eksternalisasi atau regionalisasi isu Papua; 5) Membangun perdamaian di Tanah Papua melalui proses dialog secara bertahap dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan; 6) Menjamin pelaksanaan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2008 secara optimal dan konsisten; dan 7) Menguatkan koordinasi antar tiga pilar di Tanah Papua (Pemerintah Daerah, DPRP/DPRPB dan MRP/MRPB) terkait optimalisasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2008. (Victor Mambor)