
Ilustrasi Area Pertambangan PT. Freeport Indonesia – Jubi/IST
Jayapura, Jubi – Legislator Papua dari daerah pemilihan Mimika dan sekitarnya, Wilhelmus Pigai mengatakan, yang berhak menentukan nasib PT. Freeport di Papua adalah orang asli Papua (OAP), pemilik ulayat area pertambangan PT. Freeport.
Ia mengingatkan Pemerintah Pusat tak mengabaikan masyarakat Papua, khususnya pemilik ulayat dalam pembahasan perpanjangan Kontrak Karya Freeport.
“Pemerintah Pusat jangan memperpanjang kontrak karya Freeport secara sepihak. Pemilik ulayat harus dilibatkan. Masyarakat harus diberikan kewenangan menentukan apakah setuju kontrak karya diperpanjang atau tidak,” kata Pigai ketika mengubungi Jubi, Rabu (3/2/2016).
Katanya, bagaimanapun apa yang dihasilkan Freeport berasal dari sumber daya alam Papua. Tambang itu beroperasi di wilayah masyarakat adat. Yang merasakan dampak dari aktivitas penambangan juga masyarakat sekitar, bukan masyarakat Indonesia lainnya.
“Papua memiliki UU Otsus. Apapun yang akan dilakukan di Papua harus mengacu pada UU Otsus bukan Undang-undang Minerba atau Peraturan Pemerintah Nomor 77,” ucapnya.
Menurutnya, jika pemerintah tak menghiraukan masyarakat pemilik ulayat, Pemerintah Papua, Pemerintah kabupaten yang jadi area penambangan PT. Freeport, pihaknya akan melakukan protes.
“Ada unsur-unsur di Papua yang harus dilibatkan pemerintah pusat dalam membicarakan kontrak karya Freeport. Bukan seenaknya saja. Bukan memutuskan sendiri. Semua ada aturannya,” katanya.
Freeport McMoRan Inc telah meminta izin ekspor selama enam bulan untuk sekitar 1 juta ton konsentrat tembaga, kata seorang pejabat kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Selasa (26/1/2015).
Freeport Indonesia, yang menjalankan salah satu tambang tembaga terbesar dunia di Papua, telah diminta untuk membayar deposit sebesar US$ 530.000.000 untuk pembangunan smelter baru di Indonesia agar izin ekspor diperbaharui.
“Freeport minta untuk mengekspor sekitar 1 juta ton untuk 6 bulan ke depan,” kata Direktur Mineral Mohammad Hidayat, seperti dikutip Reuters.
“Mereka hanya mengekspor sekitar 500.000 ton selama 6 bulan terakhir – di bawah kuota ekspor mereka,” lanjutnya. (Arjuna Pademme)